Selasa, 29 Juli 2008

Mereka Tidak Butuh Pentungan

Oleh Dedy Armayadi

Nama aslinya Mashuri. Saya sering panggil dia dengan nama si abang. Kita sudah lama kenal. Hampir setiap hari saya beli rokok di gerobaknya.

Si abang seorang pedagang kaki lima. Ia mangkal tepat di pinggir Bundaran Untan. Sudah delapan tahun dia berjualan di gerobak. Dia menjual rokok, makanan ringan, air mineral, dan sebagainya. Dia juga menjual bensin dan buka bengkel kecil-kecilan seperti tambal ban, servis motor, dan lain-lain.

Hampir setiap hari ia dan keluarganya bekerja. Kalau tidak si abang yang jaga gerobak, adik atau istrinya yang jaga. Mereka sekeluarga kerja sebagai pedagang kaki lima. Dan penghasilannya lumayan, Rp 50.000 per hari. Penghasilannya itu dia gunakan buat membiayai kehidupan sehari-hari, bahkan untuk kuliah istri si abang dan membiayai anaknya yang di sekolah dasar.

Hampir setiap hari si abang gelisah, was-was, dan tak tenang. Satuan polisi pamong praja (Satpol PP) sewaktu-waktu bisa datang merazia. Kata si abang, belakangan Satpol PP rajin merazia. Barang-barang pedagang kaki lima yang tak sempat diamankan bakal dibawa Satpol PP. Si abang pernah kelahi dengan Satpol PP. Dia melawan karena mau mempertahankan kompresor, mesin satu-satu miliknya buat mengisi angin ban motor pelanggannya. Adik si abang bahkan pernah di borgol dan diangkut ke mobil. Juga karena melawan.

Si abang takut dengan Satpol PP. Tapi toh si abang tetap saja berjualan di Bundaran Untan. Buat menyiasati agar gerobaknya tak diangkut, dia hanya mengeluarkan gerobaknya di malam hari. Sedang siangnya dia tetap berjualan, tapi lebih untuk jual bensin dan buka bengkel.

Saya tanyakan kepada si abang, kenapa tetap berjualan di Bundaran Untan. Si abang bilang, dia tetap harus berjualan karena tidak punya kerjaan lain. Lagi pula jadi pedagang kaki lima kerjaan halal, ketimbang mencuri, merampok atau kerjaan yang tidak halal lainnya. Si abang juga bilang dia tak punya keahlian lain selain kerja-kerja seperti yang biasa dilakukannya. Si abang pandai menambal ban, makanya dia buka bengkel.

Dia pilih Bundaran Untan karena tempatnya strategis. Di situ banyak pelanggan. Mulai dari mahasiswa, dosen sampai pegawai. Orang-orang tak perlu jauh-jauh menyeret motornya ketika habis bensin atau bannya bocor. Karena di Bundaran Untan jadi tempat strategis, setiap harinya dia bisa dapat penghasilan lumayan. Tidak heran kalau si abang tetap bertahan, meski setiap hari dia dihantui rasa was-was, dikejar-kejar Satpol PP.

Pedagang kaki lima seperti si abang sering main kucing-kucingan dengan Satpol PP. Satpol PP datang, pedagang lari. Satpol PP pergi, pedagang balik lagi. Begitu seterusnya. Dan anehnya, pola pendekatan pemerintah belum banyak berubah. Pemerintah lebih suka cara-cara refresif. Gerobak pedagang kaki lima dianggap kumuh dan pengganggu keindahan kota sehingga layak digusur, bahkan menggunakan cara-cara kekerasan sekalipun.

Akhir-akhir ini sering muncul berita-berita di televisi tentang penggusuran pedagang kaki lima. Pernah suatu kali di sebuah pasar, ada seorang ibu yang tak berdaya, keranjang sayurannya diangkut Satpol PP. Satpol PP ketika itu memperlakukannya dengan kasar. Ibu itu sudah tua. Dia menangis. Saya sedih melihatnya.

Saya juga sering melihat berita Satpol PP bentrok dengan pedagang kaki lima. Satpol PP memukul pedagang. Sebaliknya pedagang memukuli Satpol PP. Saya prihatin. Kekerasan satu akan menimbulkan kekerasan lainnya. Satpol PP yang menggusur lahan pedagang berbalas dengan perlawanan. Cara-cara kekerasan seperti ini tidak efektif dan bukan jalan penyelesaian yang baik.

Pedagang kaki lima perlu dihargai. Kita tidak bersimpati dengan cara-cara kekerasan yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya. Di satu sisi kota ingin dibuat indah, bersih sehingga menarik pengunjung. Di sisi lain lapangan kerja terbatas. Pemerintah tidak berdaya menyediakan lapangan kerja. Tapi ketika masyarakat secara mandiri membuka usahanya, pemerintah menggusur paksa, yang seringkali tanpa disertai solusi. Pedagang kaki lima dianggap illegal, namun bila akan membuat ijin usaha, malah dibuat berbelit-belit.

Pedagang kaki lima seperti si abang buka usaha dari modal dan keringat sendiri. Mereka bekerja dari pagi, siang, malam ketemu pagi. Mereka pekerja keras. Mereka perlu dikenali, didengarkan, diberikan pengetahuan, dan disentuh dengan kasih sayang. Mereka punya naluri wirausaha, yang mestinya menjadi aset negara.

Hernan de Soto, ekonom Peru sukses membuat sektor informal di negaranya berkembang pesat. Hal itu setelah dia mengenali secara mendalam sektor informal di negaranya. Dia paham sebetulnya rakyat di negerinya tidak jauh berbeda dengan rakyat di Amerika dan Eropa. Namun muncul pertanyaan dilubuk hatinya, mengapa negaranya tetap saja miskin?

Setelah dia membentuk Institut for Liberty and Democracy (ILD) dan melakukan penelitian di banyak tempat, ia mengetahui tulang punggung ekonomi di negaranya digerakkan sektor informal. Dan justru pemerintahlah yang jadi penghambat berkembangnya sektor informal, karena lebih berpihak kepada para pengusaha berduit.

Hernan de Soto kemudian mengorganisir masyarakat yang bergerak di sektor informal. Mereka diupayakan diberi status hukum sehingga bisa mendapat kredit dari bank sebagai modal usaha. Mereka secara intens didampingi, difasilitasi dalam berbagai hal, termasuk dalam peningkatan kapasitas. Akhirnya langkah-langkahnya berhasil. Sektor informal di negaranya bergerak maju. Pemerintah di negaranya tertarik dan menggunakan modelnya dalam mengembangkan sektor informal di Peru.

Pendekatan Hernan de Soto lebih menekankan kasih sayang ketimbang pentungan. Pendekatan ini lebih elegan, karena menganggap sektor informal sepertihalnya pedagang kaki lima merupakan aset negara. Pemberdayaan sektor informal dilandaskan riset mendalam. Hernan de Soto tak segan-segan berkumpul dengan kaum papa. Dia berusaha mengenalnya. Menempatkan masyarakat di sektor informal sebagai manusia yang bermartabat.

Melalui pendekatannya itu, masyarakat dengan sendirinya dapat memahami dan mengerti bagaimana berusaha, sekaligus bersama-sama membuat kota menjadi bersih dan indah. Di lain pihak negara diuntungkan, karena terjadi peningkatan penerimaan pajak.

Gerakan Hernan de Soto bisa massif karena di dukung masyarakat. Hal ini kembali menegaskan sesungguhnya kekuatan itu berada di tangan masyarakat. Sementara pemerintah memfasilitasi dan mendorong sektor informal berkembang secara mandiri. Kalaulah pedagang kaki lima didekati dengan cara-cara yang lebih manusiawi, diberikan dampingan dan pembinaan, niscaya keinginan kita bersama dapat terwujud.

Si abang dan rekan-rekannya kini masih berjualan. Mereka masih was-was dan tak tenang. Persoalan ini perlu segera ditangani, tapi bukan dengan cara-cara kekerasan. Si abang bilang, dia tidak butuh pentungan, tapi yang mereka butuhkan adalah pengetahuan dan kasih sayang.[]

Tidak ada komentar: