Sabtu, 26 Juli 2008

Meneladani Kepemimpinan Basuki

Oleh Dedy Armayadi

Hati saya membuncah ketika membaca sebuah artikel yang bercerita tentang Bupati Belitung Timur, Basuki Tjahaja Purnama.

Di bawah kepemimpinan Basuki, pemerintah Belitung Timur membebaskan biaya pendidikan sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas negeri. Belasan siswa berprestasi dikirim melanjutkan belajar gratis ke Universitas Trisakti, Jakarta dan Universitas Bangka-Belitung. Setiap siswa itu disubsidi Rp 1 juta per bulan untuk yang di Jakarta, dan separuhnya untuk Bangka.

Dia juga menggratiskan pengobatan warganya, dari biaya dokter, obat, rumah sakit, hingga ambulans. Menurutnya pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi.

Guna menjalankan kedua programnya itu, Bupati ini rela memotong biaya perjalanan dinasnya, dari Rp 1 miliar per tahun menjadi seperlimanya. Pos yang sama untuk kepala dinas dikorting. Untuk perjalanan ke Jakarta mereka mendapatkan tiket kapal, bukan pesawat.

Selain pendidikan dan kesehatan, yang mendapat porsi 40 persen anggaran, Bupati menyediakan dana untuk warga yang meninggal. Dengan syarat membuat akta kematian, keluarga yang ditinggalkan mendapat santunan Rp. 500 ribu. Subsidi pembangunan rumah pun disediakan untuk keluarga tak mampu.

Menurut para pegawai di wilayah itu, Bupati cukup keras menegakkan disiplin. Mereka yang ketahuan kongkow pada jam kerja langsung mendapat sanksi, ditahan kenaikkan pangkatnya. Di sisi lain, Bupati memberi honor untuk para ketua RT Rp 300 ribu, Ketua Dusun Rp 640 ribu, dan Kepala Desa 2 juta per bulan.

Kisah Basuki ini saya dapatkan dari Majalah Tempo, Edisi Khusus Tokoh Pilihan, (25-31 /12/ 2006). Pria yang bernama asli Zhong Wan Xie ini merupakan satu tokoh pilihan Majalah Tempo sebagai “10 Yang Mengubah Indonesia” bersama Tri Mumpuni, Nelson Tansu, Warsito, Septi Peni Wulandari, Erna Ismail Choirun Nisa, Usman Hamid, Ade Purnama, Hendi Setiono, dan Yoshi Mardoni Adisufana.

Saya terkesan dengan kepemimpinan Basuki. Bagi saya, ia merupakan satu dari segelintir pemimpin di negeri ini yang punya sikap: pemimpin harus memihak rakyat kecil dan miskin. Meski seorang Bupati, ia tahu kalau kekuasaan bukanlah untuk mengabadikan kekayaan, tapi kekuasaan untuk melayani. Ia mungkin termasuk pemimpin yang meyakini kalau tugas memimpin adalah mengabdi. Tidak salah bila Majalah Tempo memilihnya.

Berkaca dari apa yang Basuki lakukan, lalu saya membayangkan pemimpin-pemimpin besar dunia, pemimpin yang mampu membawa arus progresif pembaharuan sosial. Memang, Basuki bukanlah seorang Presiden, namun saya seolah menemukan sosok Fidel Castro dari Kuba yang menetapkan pendidikan gratis untuk semua jenjang buat penduduknya. Saya teringat juga Hugo Chaves dari Venezuela yang punya kebijakan kesehatan dengan meminta satu dokter bertanggung jawab pada beberapa keluarga miskin.

Basuki memang sosok lain dari banyak pemimpin di Indonesia. Ia mampu menyirami kegersangan kepemimpinan di negeri ini, yang amat jarang berpihak kepada rakyat kecil dan miskin. Ketika pemimpin lain gemar melakukan penggusuran atas nama kebersihan kota, ia justru menyediakan subsidi pembangunan rumah untuk keluarga tak mampu. Saat anggota Dewan dan sebagian pejabat ramai-ramai menaikkan gaji dan gemar study banding, ia malah memotong biaya perjalanan dinasnya, dari Rp 1 miliar per tahun menjadi seperlimanya. Pada waktu banyak pemimpin menyia-nyiakan korban-korban bencana alam, ia justru menyediakan dana untuk warga yang meninggal.

Mungkin Basuki tahu, jawaban ideologis tak lagi memadai untuk memberikan kerangka tugas-tugas Bupati yang ia sandang. Yang jelas ia tahu untuk memakmurkan rakyat tidak bisa melalui jalan pembangunan yang lazim. Basuki menindak tegas bawahannya yang tidak disiplin, namun memberikan kesejahteraan kepada mereka yang menjalankan tugas. Bupati mana yang berani memberi honor Kepala Desa 2 juta rupiah, melebihi gaji pegawai negeri umumnya?

Saya tidak bermaksud melebih-lebihkan kepemimpinan Basuki. Dibalik kelebihannya, tentu ia punya banyak kekurangan. Namun, kepemimpinan progresif Basuki itu telah membuat saya tetap optimis, ternyata bangsa ini masih memiliki pemimpin yang mencintai dan berbuat tulus untuk rakyatnya. Kepemimpinan Basuki itu kembali mengingatkan saya tentang sosok pemimpin di zaman perjuangan kemerdekaan yang amat dipanuti dan disegani, bukan hanya bangsanya sendiri, tetapi juga bangsa lain. Sudah lama bangsa ini kehilangan pemimpin yang berani, antusias dan rela berkorban untuk rakyat.

Dulu, bangsa ini punya para pemimpin yang cakap dan berani seperti Soekarno, Tan Malaka, Moh.Hatta, Sjahrir, Haji Agus Salim, Soewardi Soerjaningrat. Mereka merupakan satu dari sekian banyak pemimpin yang punya dedikasi untuk kesejahteraan rakyat dan mengajarkan tentang banyak hal.

Soekarno dengan kobaran revolusinya telah mendidik bangsa ini untuk menjadi nasional yang kuat dan mandiri. Soekarno sejak awal sangat meyakini bagaimana imprealisme modern yang terwujud dalam badan-badan keuangan international sesungguhnya punya misi menjadi penjajah. Begitu pula semangat Tan Malaka yang menuntut kemandirian bangsa dan mengajak untuk menggunakan rasionalitas.

Sejak dulu Soewardi yang kemudian namanya Ki Hajar Dewantara menyerukan pendidikan bukan sekadar mencari pekerjaan, meraih nilai tapi mengenalkan jati diri sebagai penduduk yang merdeka dan punya martabat. Sjahrir mengenalkan tentang integritas seorang negarawan. Baginya berpolitik bukan sekadar cara untuk mempraktekkan secara pragmatis kekuasaan, melainkan suatu etika dimana suatu tujuan yang dipilih haruslah dapat dites dengan kriteria moral.

Di sisi lain, para pemimpin-pemimpin itu rela menderita demi rakyatnya. Mereka menganut memimpin adalah jalan derita. Pelajaran itu dapat dipetik dari Moh. Hatta yang hidup sangat sederhana, bahkan konon sampai tak mampu membayar listrik negara yang makin mahal. Juga, Haji Agus Salim yang masih mengontrak rumah meski berkali-kali jadi menteri. Bandingkan dengan pemimpin kita sekarang, adakah yang siap hidup menderita?

Sebagian besar pakar menyebut, krisis multidimensi yang dialami bangsa ini disebabkan krisis kepemimpinan. Meski telah sepuluh tahun mereformasi diri, hasilnya justru mengerikan. Harga-harga barang melambung tinggi, kemiskinan kian meningkat, pengangguraan tak terentaskan, busung lapar di mana-mana, flu burung tak teratasi, rentetan bencana alam menghantam, tingkat kecelakaan transportasi udara, air dan darat kian tinggi, korupsi merajalela, acapkali dilanda konflik dan kekerasan, listrik byar-pet, krisis air bersih, dan masih banyak lagi sederet daftar panjang luka bangsa ini yang belum bisa terobati.

Untuk mengobati itu tampaknya bangsa ini perlu pemimpin alternatif seperti Basuki. Kepemimpinannya yang berpihak kepada rakyat memberikan setitik harapan. Ia telah membuktikan praktek pembaharuan sosial yang nyata dan menyentuh. []

Tidak ada komentar: