Minggu, 16 Oktober 2011

Kangen Menulis di Blog ku Ini

Ini baru blog yang benar. Barusan saya menulis di blog yang salah. Tapi tak apalah. Ini ada sangkut pautnya akibat jarang menulis di blog ini. Sudah lama rasanya saya tidak menulis di blog ini. So, rasa kangennya berlipat-lipat.

Saya sekarang bersama pak Ilong, Ketua Lembaga Desa "Lidih Duan" Desa Ensaid Panjang. Pak Ilong dan warga Desa Ensaid Panjang akan mengembangkan hutan desa di Ensaid Panjang.

Malam ini saya bersama pak Ilong akan berangkat ke Pontianak untuk mengikuti kegiatan diskusi publik Aliansi Organik Indonesia. So, jadi terburu-buru sekali. Nanti tulisan ini akan saya lanjutkan kembali.

Senin, 08 September 2008

Mengurai Budaya Rumah Betang Ensaid Panjang

Oleh Dedy Armayadi

Bentuk pemukiman khas atau suatu kampung dari masyarakat suku Dayak di Pulau Kalimantan umumnya merupakan sebuah bangunan rumah yang bersambung, yang dihuni oleh puluhan kepala keluarga. Rumah ini biasanya disebut rumah panjang atau rumah betang.

Pada zaman perang antarsuku rumah betang menjadi benteng pertahanan warga kampung. Namun sekarang rumah betang lebih berperan sebagai sarana pelestarian kebudayaan masyarakat suku Dayak.

Sejalan perkembangan zaman kini keberadaan rumah betang dirasakan mulai berkurang. Satu yang tersisa diantaranya adalah rumah betang yang terdapat di Dusun Rentap Selatan, Ensaid Panjang, Kelam Permai, Sintang. Rumah betang ini terletak sekitar 50 km dari Ibu Kota Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat

Bangunan yang biasa dikenal dengan sebutan Rumah Betang Ensaid Panjang itu memiliki panjang sekitar 127 meter dan lebar 16 meter. Ia dibangun pertama kali pada tahun 1986. Saat ini rumah Betang Ensaid Panjang dihuni 136 jiwa dari 33 kepala keluarga dengan 29 bilik.

Rumah Betang Ensaid Panjang didirikan di atas tiang penyang-gah dari kayu Belian (Eusideroxylon zwagerii) dan beratapkan sirap. Pada bagian depan rumah terdapat pagar yang menyatu dengan rumah betang. Pagar yang biasa disebut dengan pagar air itu tersusun dari kayu-kayu bulat kecil. Pada bagian tengah ada yang namanya ruai, yakni ruangan yang cukup lebar dan memanjang, tempat warga beraktivitas dan berkumpul mengadakan berbagai pertemuan. Lantai ruai itu berupa kayu bu-lat kecil dari pohon jengger atau papan. Di ruai, ada tempat duduk yang panjangnya sekitar 2 - 4 meter, biasanya menempel di pagar air yang disebut empanggung.

Tempat masing-masing keluarga tinggal di rumah betang dise-but bilik. Masing-masing keluarga memiliki bilik selebar 4-6 meter. Di dalam bilik terdapat ruang tamu, kamar tidur, dan dapur. Dahulu kala dapur rumah betang berada di depan, di dekat pintu bilik. Namun sekarang dapur ditempatkan di belakang rumah. Se-lain papan, dinding di depan bilik masih menggunakan kulit pohon meranti (Shorea sp). Diantara ruai dan bilik terdapat lantai dari papan yang digunakan untuk warga berjalan dan menumbuk padi yang biasanya disebut dengan telok. Posisi telok ini lebih rendah dari ruai dan bilik.

Dahulu rumah betang sengaja dibuat tinggi sekitar 5-7 meter untuk menangkal tombak musuh. Supaya mudah dalam penjagaan, tangga rumah hanya dibikin dua yang letaknya berada di samping kanan dan kiri rumah. Setelah perang antarsuku usai, rumah betang dibangun lebih rendah, sekitar 1,5 meter dari atas tanah. Tangga rumah pun umumnya sudah lebih dari dua. Tidak hanya di samping kiri dan kanan, tapi juga di depan.

Lokasi rumah betang sering berpindah-pindah dari satu tembawang (kebun warga yang biasanya terdapat pohon buah, tengkawang, dan lainnya) ke tembawang lain. Lokasi rumah betang bisa pindah karena ketika rumah yang mereka tempati terjadi kebakaran atau ada tanda-tanda buruk seperti bunyi burung, mimpi buruk, banyak warga yang terserang penyakit, atau meninggal dunia.

Lokasi Rumah Betang Ensaid Panjang berada di tembawang Riring Selinang. Dalam bahasa Suku Dayak Desa riring berarti miring, sedangkan Selinang merupakan nama anak sungai yang berada tepat di depan rumah betang. Sebelum pindah ke Riring Selinang, Rumah Betang Ensaid Panjang dibangun di tembawang langkar (baca. rumah belum jadi) yang dihuni 22 kepala keluarga.

Budaya di Rumah Betang

Warga di rumah betang Ensaid Panjang mayoritas dihuni oleh Masyarakat Suku Dayak Desa. Selain Suku Dayak Desa terdapat pula suku lain seperti Suku Dayak Iban, Kantuk dan bahkan ada yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Perbedaan suku ini tidak menjadi persoalan, akan tetapi adat istiadat yang digunakan tetap mengacu pada adat istiadat Suku Dayak Desa.

Warga rumah betang Ensaid Panjang memiliki beragam tradisi dan budaya di dalam kehidupannya. Riyanto (1992) menyebutkan, kehidupan sehari-hari di rumah betang diwarnai dengan persaudaraan yang sangat kuat. Orang sekampung harus hidup dengan rukun dan bersatu dalam hal kecil maupun dalam hal besar. Jika salah satu orang berburu dan mendapatkan kijang, babi atau binatang lainnya, ia mesti membagikannya ke para tetangga. Saat berladang, dalam setiap rangkaian kegiatannya dilakukan dengan gotong royong atau biasa disebut dengan beduruk. Setiap warga saling membantu apabila ada keluarga yang mengalami musibah atau mengadakan pesta.

Untuk mengawali beberapa aktivitas, warga rumah betang biasanya melakukan ritual atau upacara adat. Mereka juga menga-mati berbagai tanda-tanda dan gejala alam seperti mimpi dan bu-nyi burung.

Dalam pembangunan rumah betang misalnya, masyarakat melakukan ritual, terutama saat penancapan tiang mun (tiang pertama rumah betang yang diikat kain kuning di atasnya dan ditan-capkan bulu landak). Masyarakat juga mengamati tanda-tanda dan gejala alam. Kalau ada yang meninggal atau terdengar bunyi burung yang tidak baik, pembangunan rumah tidak dilanjutkan. Biasanya untuk menghindari suara-suara burung, orang-orang memukul gendang sepanjang hari secara bergantian.

Sebelum rumah betang didirikan, masyarakat terlebih dahulu memilih pon, ngapit dan nekop. Pon adalah sebutan bagi ketua atau juragan rumah, sedang ngapit dan nekop merupakan wakil-wakilnya. Dalam pemilihan itu semua warga rumah betang berkumpul bermusyawarah menentukan calon sebanyak tiga orang. Orang yang dipilih ini adalah orang yang sudah memiliki pengalaman, pengetahuan tentang adat istiadat dan cukup umur.

Keputusan siapa yang menjadi pon, ngapit, dan nekop diten-tukan melalui betenung (baca meminta petunjuk/mengundi) dengan telur. Pada saat proses pemilihan, telur yang telah disedia-kan dibolongkan di atasnya, serta dibeberapa titik ditulis kuning, hitam dan putih. Selanjutnya telur itu dipanaskan dengan api lampu pelita. Jika tetesan jatuh pada warna kuning, dialah yang menjadi pon, kalau warna hitam dan putih dialah yang akan menjadi ngapit dan nekop.

Di rumah betang terdapat pantangan yang hingga kini masih dijalankan warga. Antara lain pantangan itu berupa: sabung api yakni jika rombongan datang ke rumah betang dilarang menaiki tangga rumah dari arah yang berlawanan. Bagi warga betang dilarang membawa pucuk rebung yang belum dibersihkan, bibit pisang dan nenas ke dalam rumah. Saat hujan naik ke rumah pengamben tidak boleh ditutup. Bagi setiap keluarga, bilik yang dimilikinya tidak boleh ditinggalkan lebih dari tiga hari. Kalau ter-jadi pelanggaran-pelanggaran itu, pon yang akan menindaknya.

Kehidupan di rumah betang tidak luput dari perselisihan antar-sesama warga. Kasus yang terjadi biasanya berkaitan dengan permasalahan lahan, pertengkaran anak muda, dan sebagainya Akan tetapi, karena rasa persaudaraan masih kuat dan adat istiadat di rumah betang masih tetap terjaga dengan baik, penyelesaian masalahnya menjadi lebih mudah.

Ketika ada warga yang mencuri atau tidak memberitahukan pemakaian barang kepada orang lain, ia dapat dikenakan sangsi salah basa. Saat warga ada yang berkelahi, atau merusak barang orang lain maka ia bisa dikenakan sangsi neraka basa. Jika berkelahi sampai mengeluarkan darah, ia dikenakan mali, malah bisa tiga sekaligus, salah basa, neraka basa, dan mali. Sangsi yang diberikan biasanya berupa membayar denda. Denda mali lebih besar dari sangsi salah basa dan neraka basa.

Jika terjadi permasalahan atau pertengkaran di kampung, ada beberapa cara yang digunakan warga untuk menyelesaikannya. Cara yang sering dilakukan adalah melalui penyelesaian secara kekeluargaan diantara kedua belah pihak yang berselisih, baik yang hanya dilakukan diantara kedua belah pihak maupun dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat. Cara ini biasanya dikenal dengan nama bejereh-bebantah. Pada saat bejereh-bebantah, kedua belah pihak harus menghadirkan juru bicara yang biasanya diambil dari ketua adat atau tokoh masyarakat yang memahami hukum adat. Juru bicara ini yang saling bantah membela orang-orang yang berselisih dengan argumen masing-masing. Keputusan penyelesaian perkara ditentukan oleh Lit atau hakim ketua setelah menimbang argumen dari kedua belah pihak.

Di rumah betang masih terdapat budaya kana. Pada masyarakat Dayak Desa budaya kana merupakan senandung yang sarat akan kebijaksanaan hidup, sindiran halus, petuah dan nasehat dalam menjalani kehidupan, yang diungkapkan dalam kiasan serta dilantunkan dengan senandung yang khas. Selain budaya kana, ada pula budaya semayan dan kanduk. Budaya semayan merupakan budaya yang bersifat religius, berupa rangkaian kata-kata, diucapkan dengan nada tertentu, yang dilaksanakan dalam upacara penyembuhan orang sakit, yang disebut upacara belian, dan dalam setiap penyelenggaraannya selalu dipimpin oleh semanang (dukun). Sedangkan budaya kanduk merupakan cerita rakyat seperti legenda Sebeji mengangkat Bukit Kelam.

Menurut Riyanto (1992), dalam budaya Kana, Semayan, mau-pun Kanduk tersebut terkandung kepercayaan, sekaligus pandangan hidup masyarakat Suku Dayak Desa yang berkeyakinan bahwa dunia beserta kehidupannya diciptakan dan diatur oleh Segugah.

Selain mengungkapkan penciptaan dunia, dalam ketiga budaya tersebut (Kana, Semayan, Kanduk) juga terungkap keyakinan Suku Dayak Desa mengenai adanya ketiga macam dunia dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Dunia Atas Langit merupakan tempat yang membahagiakan dan penuh kedamaian. Di sinilah tempat tinggal para Dewata (Petara) dan Manusia Buah Kana. Manusia Buah Kana merupakan sosok manusia sempurna, yang asal mulanya satu keturunan dengan manusia. Sedangkan Dunia Mensia adalah bumi ini. Selain ditempati oleh manusia, bumi ini juga diyakini ditempati oleh Manusia Buah Kana serta oleh berbagai kekuatan (baik dan jahat). Kehidupan di dunia mensia penuh dengan pergolakan dan perjuangan.

Sebayan (dunia arwah) merupakan tempat berkumpulnya semua semengat (jiwa) orang yang sudah meninggal. Orang yang selama hidupnya selalu berbuat kebaikkan, semengatnya men-jelma menjadi hantu baik yang selalu berusaha membantu manusia, terutama keluarga yang ditinggalkannya. Tetapi orang yang hidupnya tidak benar, maka semengatnya akan menjelma menjadi hantu jahat, yang gentayangan dan suka mengganggu.

Manusia dipahami sebagai mahkluk yang sangat lemah. Untuk bisa mempertahankan hidupnya, manusia harus selalu berusaha membina relasi dengan semua kekuatan yang mendiami bumi ini. Itulah sebabnya dalam kehidupan masyarakat suku Daya Desa di temukan beragam upacara dan sesajian.

Budaya lisan yang dimiliki warga rumah Betang ternyata kaya akan filosofi kehidupan. Kandungan nilai-nilai budaya di dalamnya menjadi pegangan hidup, tidak hanya dalam berinteraksi dengan sesama manusia, namun juga mengatur hubungan manusia dengan kekuatan lain di bumi. Tidak heran nilai-nilai itu mewarnai kebudayaan rumah betang Ensaid Panjang.

Tulisan ini memang belumlah lengkap. Masih banyak tradisi dan budaya masyarakat rumah betang Ensaid Panjang yang belum diuraikan. Sepertihalnya tenun ikat dayak yang dikerjakan para perempuan, pengetahuan lokal dalam berladang, dan lainnya. Namun dari beberapa tradisi dan budaya yang diuraikan di sini sedikit banyak kita dapat memperoleh gambaran tentang tradisi dan budaya yang dimiliki masyarakat rumah betang Ensaid Panjang yang berguna dalam membina hubungan harmonis antar sesama manusia.[]

Selasa, 29 Juli 2008

Yusmar sedang Sakit

Oleh Dedy Armayadi

Malam telah larut. Mimbar Untan, rumahku mulai sepi. Sesekali suara batuk Yusmar terdengar. Yusmar lagi tidur di atas tikar lampit dan berbantalkan kursi rusak. Tidurnya ngangkang. Berliur lagi.

Yusmar, anggota Miun yang paling tua, sedang sakit asma. Kata Yusmar, sakitnya kali ini parah. Sepertinya ada komplikasi dengan paru-paru basah. Beberapa waktu lalu dia pernah dibawa ke rumah sakit karena sakit yang sama. Tapi sakit yang kemarin tidak seberapa. Sakit yang sekarang sudah masuk stadium 1.

Stadium 1? Entahlah, barusan Yusmar bilang begitu. Aku tak tahu stadium 1 apa yang dia maksudkan. Yang ku tahu tadi dia baru ketemu dokter, dan dokter menyebut stadium 1 itu.

Aku tak mengerti istilah-istilah kedokteran. Yang aku tahu setiap malam Yusmar sulit tidur. Sebentar-sebentar dia batuk. Di saat matanya terpejam aku lihat nafasnya terasa berat. Bunyinya keras sekali. Seperti ngorok, tapi ini agak lebih halus. Saat bernafas tubuhnya juga naik turun, tidak seperti biasanya. Aku rasa dia menderita karena sakitnya itu. Sesekali dia bangun, lantas berusaha tidur kembali.

Kemarin Yusmar ngembun. Sembari memegang bantal, dia duduk menonton televisi. Terkadang dia bermain HP. Mungkin dia sms-an dengan pacarnya. Aku rasa kemarin dia benar-benar tidak bisa tidur. Dia ngembun bukan karena keinginannya. Batuk dan nafasnya yang berat membuatnya mudah bangun. Dia sesekali keluar-masuk, mungkin karena ingin membuang ludah atau dahaknya.

Yusmar orangnya memang agak sulit dinasehatin. Dulu pascasakit yang pertama, ia dilarang ngembun dan ngerokok. Cuma Yusmar yang sering siaran malam, mau tak mau harus sering ngembun. Apalagi yang namanya merokok. Aku tahu bagaimana rasanya bila ngga ngerokok satu hari saja pas lagi kerja. Karena sering ngembun dan merokok, sakit Yusmar akhirnya kambuh lagi.

Saat-saat sekarang, ketika Yusmar sedang sakit, teman-teman juga selalu nyaranin. Selain soal ngembun dan merokok, juga soal mandi. Memang Yusmar ngga ngerokok lagi, tapi sekarang ia jarang mandi.

Aku tak tahu apa hari ini Yusmar sudah mandi. Yang jelas badannya masih bau. Kemarin dia bilang belum mandi selama tiga hari. Wah...luar biasa. Tapi apa mau dikata, Yusmar orangnya agak bandel. Dia kayaknya nggak mau disuruh-suruh. Kita suruh mandi dia nggak mau. Dia hari ini pakai baju biru yang didepannya bertuliskan INFANTERI dan bercelana pendek, celana jeans yang dipotong pendek. Pakaian yang dia pakai sudah beberapa hari. Aku rasa kombinasi belum mandi, plus pakaian yang belum diganti praktis membuat badannya bau.

Sebagai teman aku sungguh khawatir. Tapi untuk saat ini aku tak bisa berbuat apa-apa selain berbicara dengannya. Menyediakannya air minum saat dia membutuhkan dan lain-lain.

Harusnya dia sekarang berada di rumah sakit, ditangani dokter dan dilayani perawat cantik. Tapi mungkin Yusmar lagi tak punya uang. Keluarganya mungkin belum tahu, atau sengaja tidak dikasi tahu. Teman-teman di Miun aku rasa juga lagi pada bokek. Aku belum gajian. Uang di dompet tinggal dua puluh ribuan. Agaknya susah buat bawa Yusmar ke rumah sakit. Karena keterbatasan dana itu, Yusmar untuk sementara hanya bisa berbaring di Miun.

Yusmar perlu dirontgen. Dokter perlu memastikan sakit apa yang dideritanya. Kelak kalau udah gajian mungkin aku akan bantu. Barangkali aku bisa membiayai rongtennya.

Mudahan Yusmar bisa lekas sembuh. Kita bisa bercanda lagi seperti dulu. Menggoda fans yang datang ke studio Untan Voice. Di Miun ada radio loh. Penyiar prianya ganteng-ganteng. Ada yang mirip artis lagi. Mulai dari Tora Sudiro, Marcellino, Ahmad Dhani sampai Joshua. Yusmar sendiri mirip Ahmad Dhani. Yusmar ganteng, walau bibirnya agak tebal. Janggutnya lebat. Rambutnya sekarang dicat merah. Cewek-cewek banyak yang naksir sama Yusmar. Biasanya sih para fans dan adik kelas di kampusnya. Bahkan di Miun juga banyak. Banyak yang naksir, sekaligus kecewa. Cuma syukurlah, cinta ditolak, dukun tidak bertindak. Cewek-cewek Miun yang naksir ya tahu sendirilah. Si itu lho...si itu...

Okey lah...buat teman-teman, mari kita sama-sama bantu Yusmar, supaya dia bisa sembuh seperti sedia kala. Ngga ada penyakit yang ngga bisa disembuhkan bukan?[]

Mereka Tidak Butuh Pentungan

Oleh Dedy Armayadi

Nama aslinya Mashuri. Saya sering panggil dia dengan nama si abang. Kita sudah lama kenal. Hampir setiap hari saya beli rokok di gerobaknya.

Si abang seorang pedagang kaki lima. Ia mangkal tepat di pinggir Bundaran Untan. Sudah delapan tahun dia berjualan di gerobak. Dia menjual rokok, makanan ringan, air mineral, dan sebagainya. Dia juga menjual bensin dan buka bengkel kecil-kecilan seperti tambal ban, servis motor, dan lain-lain.

Hampir setiap hari ia dan keluarganya bekerja. Kalau tidak si abang yang jaga gerobak, adik atau istrinya yang jaga. Mereka sekeluarga kerja sebagai pedagang kaki lima. Dan penghasilannya lumayan, Rp 50.000 per hari. Penghasilannya itu dia gunakan buat membiayai kehidupan sehari-hari, bahkan untuk kuliah istri si abang dan membiayai anaknya yang di sekolah dasar.

Hampir setiap hari si abang gelisah, was-was, dan tak tenang. Satuan polisi pamong praja (Satpol PP) sewaktu-waktu bisa datang merazia. Kata si abang, belakangan Satpol PP rajin merazia. Barang-barang pedagang kaki lima yang tak sempat diamankan bakal dibawa Satpol PP. Si abang pernah kelahi dengan Satpol PP. Dia melawan karena mau mempertahankan kompresor, mesin satu-satu miliknya buat mengisi angin ban motor pelanggannya. Adik si abang bahkan pernah di borgol dan diangkut ke mobil. Juga karena melawan.

Si abang takut dengan Satpol PP. Tapi toh si abang tetap saja berjualan di Bundaran Untan. Buat menyiasati agar gerobaknya tak diangkut, dia hanya mengeluarkan gerobaknya di malam hari. Sedang siangnya dia tetap berjualan, tapi lebih untuk jual bensin dan buka bengkel.

Saya tanyakan kepada si abang, kenapa tetap berjualan di Bundaran Untan. Si abang bilang, dia tetap harus berjualan karena tidak punya kerjaan lain. Lagi pula jadi pedagang kaki lima kerjaan halal, ketimbang mencuri, merampok atau kerjaan yang tidak halal lainnya. Si abang juga bilang dia tak punya keahlian lain selain kerja-kerja seperti yang biasa dilakukannya. Si abang pandai menambal ban, makanya dia buka bengkel.

Dia pilih Bundaran Untan karena tempatnya strategis. Di situ banyak pelanggan. Mulai dari mahasiswa, dosen sampai pegawai. Orang-orang tak perlu jauh-jauh menyeret motornya ketika habis bensin atau bannya bocor. Karena di Bundaran Untan jadi tempat strategis, setiap harinya dia bisa dapat penghasilan lumayan. Tidak heran kalau si abang tetap bertahan, meski setiap hari dia dihantui rasa was-was, dikejar-kejar Satpol PP.

Pedagang kaki lima seperti si abang sering main kucing-kucingan dengan Satpol PP. Satpol PP datang, pedagang lari. Satpol PP pergi, pedagang balik lagi. Begitu seterusnya. Dan anehnya, pola pendekatan pemerintah belum banyak berubah. Pemerintah lebih suka cara-cara refresif. Gerobak pedagang kaki lima dianggap kumuh dan pengganggu keindahan kota sehingga layak digusur, bahkan menggunakan cara-cara kekerasan sekalipun.

Akhir-akhir ini sering muncul berita-berita di televisi tentang penggusuran pedagang kaki lima. Pernah suatu kali di sebuah pasar, ada seorang ibu yang tak berdaya, keranjang sayurannya diangkut Satpol PP. Satpol PP ketika itu memperlakukannya dengan kasar. Ibu itu sudah tua. Dia menangis. Saya sedih melihatnya.

Saya juga sering melihat berita Satpol PP bentrok dengan pedagang kaki lima. Satpol PP memukul pedagang. Sebaliknya pedagang memukuli Satpol PP. Saya prihatin. Kekerasan satu akan menimbulkan kekerasan lainnya. Satpol PP yang menggusur lahan pedagang berbalas dengan perlawanan. Cara-cara kekerasan seperti ini tidak efektif dan bukan jalan penyelesaian yang baik.

Pedagang kaki lima perlu dihargai. Kita tidak bersimpati dengan cara-cara kekerasan yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya. Di satu sisi kota ingin dibuat indah, bersih sehingga menarik pengunjung. Di sisi lain lapangan kerja terbatas. Pemerintah tidak berdaya menyediakan lapangan kerja. Tapi ketika masyarakat secara mandiri membuka usahanya, pemerintah menggusur paksa, yang seringkali tanpa disertai solusi. Pedagang kaki lima dianggap illegal, namun bila akan membuat ijin usaha, malah dibuat berbelit-belit.

Pedagang kaki lima seperti si abang buka usaha dari modal dan keringat sendiri. Mereka bekerja dari pagi, siang, malam ketemu pagi. Mereka pekerja keras. Mereka perlu dikenali, didengarkan, diberikan pengetahuan, dan disentuh dengan kasih sayang. Mereka punya naluri wirausaha, yang mestinya menjadi aset negara.

Hernan de Soto, ekonom Peru sukses membuat sektor informal di negaranya berkembang pesat. Hal itu setelah dia mengenali secara mendalam sektor informal di negaranya. Dia paham sebetulnya rakyat di negerinya tidak jauh berbeda dengan rakyat di Amerika dan Eropa. Namun muncul pertanyaan dilubuk hatinya, mengapa negaranya tetap saja miskin?

Setelah dia membentuk Institut for Liberty and Democracy (ILD) dan melakukan penelitian di banyak tempat, ia mengetahui tulang punggung ekonomi di negaranya digerakkan sektor informal. Dan justru pemerintahlah yang jadi penghambat berkembangnya sektor informal, karena lebih berpihak kepada para pengusaha berduit.

Hernan de Soto kemudian mengorganisir masyarakat yang bergerak di sektor informal. Mereka diupayakan diberi status hukum sehingga bisa mendapat kredit dari bank sebagai modal usaha. Mereka secara intens didampingi, difasilitasi dalam berbagai hal, termasuk dalam peningkatan kapasitas. Akhirnya langkah-langkahnya berhasil. Sektor informal di negaranya bergerak maju. Pemerintah di negaranya tertarik dan menggunakan modelnya dalam mengembangkan sektor informal di Peru.

Pendekatan Hernan de Soto lebih menekankan kasih sayang ketimbang pentungan. Pendekatan ini lebih elegan, karena menganggap sektor informal sepertihalnya pedagang kaki lima merupakan aset negara. Pemberdayaan sektor informal dilandaskan riset mendalam. Hernan de Soto tak segan-segan berkumpul dengan kaum papa. Dia berusaha mengenalnya. Menempatkan masyarakat di sektor informal sebagai manusia yang bermartabat.

Melalui pendekatannya itu, masyarakat dengan sendirinya dapat memahami dan mengerti bagaimana berusaha, sekaligus bersama-sama membuat kota menjadi bersih dan indah. Di lain pihak negara diuntungkan, karena terjadi peningkatan penerimaan pajak.

Gerakan Hernan de Soto bisa massif karena di dukung masyarakat. Hal ini kembali menegaskan sesungguhnya kekuatan itu berada di tangan masyarakat. Sementara pemerintah memfasilitasi dan mendorong sektor informal berkembang secara mandiri. Kalaulah pedagang kaki lima didekati dengan cara-cara yang lebih manusiawi, diberikan dampingan dan pembinaan, niscaya keinginan kita bersama dapat terwujud.

Si abang dan rekan-rekannya kini masih berjualan. Mereka masih was-was dan tak tenang. Persoalan ini perlu segera ditangani, tapi bukan dengan cara-cara kekerasan. Si abang bilang, dia tidak butuh pentungan, tapi yang mereka butuhkan adalah pengetahuan dan kasih sayang.[]

Minggu, 27 Juli 2008

Demokrasi Eklusioner

Oleh Dedy Armayadi

Protes dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM hari-hari ini masih berlangsung di tanah air. Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan menuntut kenaikan harga BBM dibatalkan. Namun seperti yang sudah-sudah, pemerintah tampaknya tak bergeming. Harga BBM tetap saja naik. Pemerintah tetap bersikeras mempertahankan kebijakannya, meski aksi demontrasi kian meluas, bahkan hingga menimbulkan kekerasan.

Gejala ‘mandul’ alias mane duli pemerintah ini bukan untuk pertama kalinya. Pada pemerintahan SBY-JK, kenaikan harga BBM sudah tiga kali. Sepertinya pemerintah sudah cukup berpengalaman mengantisipasi demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan pernah bilang, “kenaikan harga BBM yang pertama sebesar 29 persen, aksi protesnya hanya seminggu, ketika kenaikan harga BBM yang kedua sampai 100 persen lebih, protesnya hanya dua minggu.”(Kompas, 30/ 5/ 2008). Dengan demikian, pemerintah bukannya mengubah kebijakan, tapi justru memperolok aksi-aksi demonstrasi.

Ada yang janggal dengan demokrasi kita hari ini. Di era reformasi ini kita memang diberikan kebebasan menyampaikan pendapat. Kita boleh kritis. Hak-hak politik dihargai. Tapi, apalah artinya semua itu jika tuntutan yang kita suarakan selalu tidak dihiraukan pemerintah?

Gerakan reformasi yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan Otoritarian Suharto satu dasawarsa lalu memang memberikan ruang bagi ekspresi, terutama dalam bentuk kebebasan pers dan terbukanya kesempatan untuk melakukan protes sosial dan industri. Namun, ruang ekspresi itu, setidaknya sampai hari ini belum mampu memberikan arti, serta merespon berbagai tuntutan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Nah, disinilah demokrasi eklusioner (exclusionary democracies) menemukan relevansinya.

Saya mengenal istilah demokrasi eklusioner ini dari buku Sudut Gelap Kemajuan Pembangunan karya Rita Abrahamsen (2000). Demokrasi eklusioner adalah demokrasi yang tidak mampu memberi tempat pada mayoritas masyarakat dan mengejawantahkan tuntutan mereka ke dalam bentuk yang signifikan.

Rita memandang demokrasi eklusioner lahir akibat pemerintah di suatu negara lebih peduli terhadap tuntutan konstituen eksternal, yakni lembaga donor dan kreditor luar negeri (IMF, World Bank), kapitalisme global, ketimbang konstituen domestik (rakyat).
Meskipun kajian Rita mengambil kasus di negara-negara berkembang benua Afrika, resonansi cengkraman lembaga donor dan kreditor ini amat terasa di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Bukan rahasia umum lagi, Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu negara miskin_meskipun kaya sumber daya alam, yang dana pembangunannya sebagian besar diperoleh dari bantuan pinjaman luar negeri. Bantuan ini dari tahun ke tahun terus bertambah, dan telah menjadi candu, menimbulkan ketergantungan, sebagai efek dari anggaran negara yang lebih besar pasak dari pada tiang. APBN kita selalu defisit oleh sebab belanja negara yang lebih besar ketimbang pendapatan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan “penyakit kronis” bangsa kita; korupsi, kolusi dan nepotisme. Kita merasa miris saat mendengar laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan kebocoran APBN mencapai 30 persen.

Ketergantungan negara kita atas bantuan pinjaman luar negeri membuat elite pemimpin di dalam pemerintahan saat ini tidak dapat menentukan pilihan lain. Dalam kesempatan itulah konstituen eksternal terus mencengkramkan kakinya untuk memaksakan globalisasi ekonomi. Maka kita tidak perlu heran jika pemerintah sekarang ini berbicara tentang privatisasi BUMN, perdagangan bebas, pencabutan subsidi, terutama pendidikan, kesehatan, pertanian, dan transportasi (dalam hal ini subsidi BBM). Kita tidak perlu heran dengan wacana tentang keinginan pemerintah untuk menjual 44 BUMN, pemotongan subsidi pupuk, komersialisasi pendidikan lewat RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP), pencabutan subsidi BBM.

Sejak pemerintahan terpilih, demikian kata Rita, maka ada dua konstituen yang menunggu dilayani; pertama konstituen eksternal seperti lembaga donor dan kreditor, serta perusahaan transnasional, kedua konstituen domestik, yakni rakyat yang telah mengantarkan pemerintahan tersebut duduk di kursi kekuasaan. Dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah SBY-JK, maka jelas pemerintahan saat ini lebih mengabdi kepada konstituen eksternal, ketimbang rakyatnya, yang telah memilih dan mengantarkannya ke tampuk kekuasaan. Praktis, pemerintahan yang ada sekarang tidak lagi dari, oleh dan untuk rakyat.

Kondisi negara yang lebih mementingkan lembaga donor dan kreditor luar negeri ini tentu saja melukai hati konstituen domestik. Kebijakan kenaikkan harga BBM misalnya, kian menambah penderitaan rakyat. Dari kebijakan itu wajar kiranya kemudian timbul ekses, demonstrasi dimana-mana, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan memprotes dan menuntut kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM itu dibatalkan. Namun, oleh karena pemerintah telah terjebak dalam skenario kapitalisme global, tak perlu heran jika aksi demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat itu tidak dihiraukan. Yang terjadi justru pemerintah berupaya meredam protes dan penolakan itu dalam bentuk tindakan refresif aparat, pengalihan isu, pemberian bantuan langsung tunai (BLT), bantuan khusus mahasiswa (BKM) dan sebagainya. Demokrasi eklusioner pada akhirnya tidak terhindarkan.

Kalau sudah begitu, baiknya kita perlu menimbang ulang demokrasi yang kita jalankan saat ini. Tentu kita tidak mau apa yang dikatakan Noreena Hertz (Silent Takeover and the Death of Democracy), yakni the death of democracy bakal terjadi. Apalagi realitas kini berbicara, demokrasi kita sedang menuju ke arah sana.

Sistem atau mekanisme demokrasi yang kita jalankan dewasa ini tampaknya hanya merupakan kamuflase. Partai-partai politik memang ada, pada periode yang ditentukan tetap ada kampanye pemilu, tetap ada pemilihan umum. Ketika diumumkan pemenang pemilu, rakyat ikut bersorak-sorai, gembira. Tetapi, di balik itu semua, rakyat sebenarnya hanya disuguhi sebuah pertunjukan teater saja. Yang ada di balik layar adalah pertarungan antar kapitalis, dan partai-partai itu akan mengadakan deal dengan para kapitalis. Kemenangan sebuah partai, pada akhirnya, adalah kemenangan konstituen eksternal.

Dengan demikian lawan kita sudah jelas, yakni konstituen eksternal yang memiliki kapital dan strategi yang sulit dibendung, dan pemerintahan yang berselingkuh dengan mereka. Tentu tanpa antisipasi akan memberikan dampak kepada matinya demokrasi. Dan tanpa formula yang esensial, kita akan sulit menghadapi mereka. Karena itu, konsolidasi demokrasi, redesain gerakan kebangkitan bangsa dalam konteks kekinian perlu segera dilakukan. Sebab jika tidak, tuntutan perubahan, perbaikan ekonomi rakyat tidak bakal terwujud. Penolakan kebijakan yang menindas rakyat tetap saja tidak dihiraukan pemerintah. []

Ustadz Penyentuh Hati

Oleh Dedy Armayadi

Petang tadi sungguh menakjubkan. Saya terkesan menyaksikan sebuah reality show “Naik Haji Gratis”. Seorang ustadz bernama Abdurrahman terpilih menjadi peserta yang berhak ikut “Naik Haji Gratis” itu.

Saya tidak terlalu paham seperti apa kriteria pemilihan orang seperti Ustadz Abdurrahman. Tapi dari rangkaian pengujian yang dilakukan tim reality show (RS) saya bisa melihat seperti apa sosok Ustadz Abdurrahman sehingga terpilih menjadi peserta "Naik Haji Gratis".

Dengan kamera tersembunyi, tim RS mengamati keseharian aktivitas ustadz. Sekali waktu tim mengamati ustadz ketika mengajar di madrasah. Ustadz kala itu terlihat sedang mengajar. Disaat ustadz mengajar itu, tiba-tiba datang seorang muridnya. Murid ini terlambat. Ia kemudian masuk ke kelas dan menghadap pak ustadz.

“Maaf pak ustadz, saya terlambat,"kata murid tadi. "Saya ke sini mau bilang sama pak Ustadz. Saya tak bisa melanjutkan sekolah lagi.”

“Kenapa?”tanya pak Ustadz perlahan.

“Ibu saya tak punya biaya,”ujar si murid polos.

Ustadz lalu merangkul si murid. Dia mencoba menghadapinya dengan tenang. Ustadz menyarankan kepada muridnya itu agar tidak berhenti sekolah. Sekalau tidak mampu, Ustadz mau menanggung biaya si murid.

Tak hanya sekadar mengamati aktivitas Ustadz Abdurrahman, Tim RS juga melakukan pengujian.

Saat itu siang terasa terik. Di jalanan kendaraan berlalu lalang. Tak urung debu-debu jalanan beterbangan. Ustadz berdiri di tepi jalan. Selang beberapa menit, tak jauh darinya berhenti sebuah oplet hijau. Seorang ibu turun dari oplet itu. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terlihat ibu dan supir oplet terlibat pertengkaran. Rupanya ibu tadi tidak memiliki uang untuk membayar supir oplet.

Pertengkaran masih berlangsung ketika Ustadz datang mendekat. Ia kemudian bertanya kepada ibu tadi. Dan setelah itu terlihat ustadz memberikan selembar uang ribuan kepada ibu. Ustadz telah berhasil melewati pengujian itu.

Malam harinya tim RS mendatangi sebuah surau tempat ustadz menjadi imam dan tempat berkumpul murid-murid pengajiannya, ibu-ibu dan remaja. Namun entah bagaimana skenarionya, yang jelas tim RS bukan hendak bertemu Ustadz Abdurrahman, tapi bertanya keberadaan Ustadz Yusuf. Karena di surau tak ada Ustadz Yusuf, tim RS keluar dari surau. Kebetulan saat Tim RS keluar, mereka berpapasan dengan Ustadz Abdurrahman yang baru saja tiba di surau.

Saat berpapasan itulah Tim RS bertanya kepada Ustadz Abdurrahman tentang keberadaan Ustadz Yusuf. Entah bagaimana pembicaraan langsung mengarah ke Ustadz Abdurrahman. Tim RS bertanya kepada Ustadz tentang dirinya.

Rupanya pak Ustadz memiliki tiga anak. Ada yang masih kuliah dan SMA, yang tua menjadi guru TK. Pendapatan pak ustadz dari mengajar di madrasah kurang lebih Rp 500.000 per bulan.

"Apa cukup pak Ustadz?" tanya seorang dari Tim RS. “Ya, cukup ngga cukuplah, bagaimana lagi,” jawab pak Ustadz.

Lalu bagaimana kalau tidak cukup?

“he...he... biasanya saya pinjam uang dulu sama anak,“kata pak Ustadz malu-malu.

Walaupun penghasilan pak Ustadz tidak seberapa, tapi ia tetap bersyukur dengan apa yang telah diperolehnya saat ini.

Tim RS dan pak Ustadz kemudian masuk ke dalam surau. Di sana telah menunggu murid-murid pengajiannya. Menurut murid-muridnya, pak Ustadz adalah sosok yang sabar. “Kesabarannya paling tinggi,”kata seorang ibu. Mungkin karena itulah pak Ustadz mudah merangkul ibu-ibu, muridnya.

Kemudian Tim RS mengumumkan pemenang hadiah "Naik Haji Gratis". Mendengar kabar pak Ustadz terpilih sebagai pemenang, sontak ibu-ibu dan remaja pengajian itu bersyukur. Bahkan terlihat dari mereka ada yang berkaca-kaca. Disela-sela ucap syukur yang mendalam dari muridnya, pak ustadz hanya diam, walaupun tampak dari garis wajahnya memancarkan kebahagian.

Saya senang dengan kisah dari reality show ini, terutama kisah bagaimana cara pak ustadz mendekati anak-anak muridnya, dan ibu-ibu pengajian. Apalagi tindakan dan perkataan pak ustadz memang mengundang simpati. Karena itu pulalah pak ustadz dicintai murid-muridnya dan mudah merangkul ibu-ibu. Dan yang lebih penting adalah pak ustadz berhasil menyampaikan syiar Islam tidak dengan kekerasan dan kekuatan fisik. Tapi dengan menunjukkan perkataan yang lembut dan sifat yang patut diteladani.[]

Sabtu, 26 Juli 2008

Seni Budaya Tutur dan Perdamaian

Oleh Dedy Armayadi

Masyarakat adat Dayak di Kecamatan Kelam Permai, Sintang, Kalimantan Barat, memiliki kekayaan seni budaya tutur. Seni budaya tutur yang dimaksud adalah syair atau pun ceritera yang disampaikan kepada seseorang atau khalayak ramai. Rata-rata ucapan atau syair dari seni budaya tutur ini disampaikan dengan cara bersenandung, terkecuali untuk cerita atau dongeng yang biasanya dituturkan secara datar. Seni budaya tutur ini ada yang disampaikan secara sepihak, namun ada juga yang berbalas atau pun bersahut-sahutan.

Seni budaya tutur biasanya berupa kisah atau ungkapan tentang perihal tertentu, seperti kisah tentang asal mula kehidupan, keseharian, mitos, atau hanya berupa ungkapan yang berfungsi sebagai sindiran, pujian, nasehat, atau bahkan untuk memanjatkan doa. Oleh karenanya disamping untuk menghibur, seni budaya tutur ini juga ada yang bersifat semireligius.

Biasanya seni budaya tutur masyarakat dimainkan di suatu acara, seperti saat gawai tutup tahun atau pesta panen padi, acara pernikahan, saat menangani perkara, dan acara lainnya. Selain itu, seni budaya tutur juga sering dimainkan pada waktu masyarakat sedang beraktivitas, seperti saat gotong royong bekerja di ladang, saat ibu-ibu sedang menganyam (besedau), menimang atau menidurkan anak, dan berbagai aktivitas masyarakat lainnya.

Penggunaan seni budaya tutur ini di dalam ruang dan interaksi sosial menggambarkan bahwa seni budaya tutur mempunyai peranan penting dalam menciptakan kehidupan yang harmonis antarsesama masyarakat. Kekuatan seni budaya tutur ini terletak pada kisah dan pesan yang disampaikannya, disamping senandung yang indah, dan suara yang merdu. Seni budaya tutur dapat mempromosikan perdamaian. Jika seni budaya tutur tersebut mengandung pesan-pesan perdamaian, berarti dapat pula memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga perdamaian di daerahnya.

Selain itu, seni budaya tutur seperti bejereh dan bebantah merupakan salah satu mekanisme penanganan konflik yang cukup baik diterapkan dalam masyarakat adat di Kelam Permai. Bejereh dan bebantah sudah sejak lama digunakan untuk menyelesaikan perkara yang terjadi di masyarakat. Bejereh merupakan senandung yang menjelaskan tentang asal mula perkara berdasarkan persepsi masing-masing pihak yang berkonflik. Sedangkan bebantah adalah senandung yang disampaikan untuk membantah atau menyangkal pendapat lawan, berdasarkan hukum adat yang dipatuhi.

Seni budaya tutur yang merupakan hiburan rakyat, juga bisa digunakan untuk mencairkan suasana apabila terjadi ketegangan pada suatu pertemuan. Penyampaian seni budaya tutur yang biasa dilakukan pada saat orang ramai berkumpul, juga dapat digunakan sebagai sarana untuk mempererat hubungan antarsesama masyarakat. Dengan demikian, seni budaya tutur dapat menjadi media promosi dalam mempersatukan masyarakat, serta membangun perdamaian di daerah.

Keberadaan Seni Budaya Tutur

Di Kelam Permai terdapat tiga sub suku Dayak, yakni Sub Suku Dayak Desa, Sub Suku Dayak Seberuang, dan Sub Suku Dayak Sebaruk. Ketiga Sub Suku Dayak ini masing-masing memiliki seni budaya tutur yang khas. Sub Suku Dayak Desa misalnya, terkenal dengan kesenian bekana dan bekanduk. Sub Suku Dayak Sebaruk terkenal dengan bejandih dan engkerasak. Sedangkan sub suku Dayak Seberuang terkenal dengan Besirang, Besasu, dan Bambai.

Pada ketiga sub suku Dayak tersebut untuk beberapa kesenian terdapat kesamaan bentuk. Misalnya kesemua sub suku Dayak itu sama-sama mempunyai seni budaya bepantun, dan dongeng atau cerita. Tetapi masing-masing sub suku punya istilah yang berbeda. Pada Sub Suku Dayak Desa untuk dongeng atau cerita menggunakan istilah bekanduk, sedangkan untuk Sub Suku Dayak Sebaruk punya sebutan betusut, dan pada Sub Suku Dayak Seberuang biasa disebut engkanduk.

Antar sub suku juga mempunyai kesenian yang sama. Antara Sub Suku Dayak Sebaruk dengan Seberuang misalnya, sama-sama biasa memainkan kesenian besasu. Sub suku dayak desa dengan Sebaruk sama-sama mengenal budaya tutur bedarak. Kesamaan ini menggambarkan diantara sub suku dayak tersebut punya hubungan yang erat satu dengan lainnya.


Seni budaya tutur saat ini dirasakan hampir mulai menghilang. Hanya orang-orang tertentu (kaum tua) saja yang masih dapat menguasai seni budaya tutur. Generasi muda enggan belajar seni budaya tutur yang ada. Kengganan generasi muda ini terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, dimana nuansa budaya dan adat istiadat sudah tidak sekental dahulu.

Penyelenggaraan seni budaya tutur di desa atau di kampung-kampung saat ini sudah berganti dengan nyanyian atau karaoke. Penggunaan seni budaya tutur dalam keseharian yang biasa jadi sarana interaksi pada saat berkumpul pun berganti dengan cerita sinetron yang sering muncul di televisi. Di sekolah, guru-guru hanya mengajarkan seni budaya nusantara secara umum, jarang sekali mengenalkan seni budaya lokal. Kondisi ini membuat generasi muda lebih terbiasa dengan budaya luar, yang kemudian meminggirkan seni budaya lokal.

Perubahan lainnya juga dapat dilihat dari kebanggaan memainkan seni budaya tutur yang ada. Dahulu kala orang-orang yang pandai memainkan bekana, bekanduk, dan bepantun akan disenangi oleh lawan jenis. Para pria biasanya memuji anak gadis dengan pujian yang terkandung di dalam syair bekana, atau ungkapan di dalam pantun. Ada kebanggaan tersendiri bagi mereka yang menguasai bekana, atau seni budaya tutur yang lainnya.

Kondisi dahulu tentu sudah jauh berubah seiring dengan perubahan jaman. Saat ini anak muda justru tidak berminat belajar, bahkan merasa malu memainkan seni budaya tutur lokal. Ada anggapan seni budaya yang ada itu adalah budaya orang primitif. Budaya yang modern adalah nyanyian dan musik layaknya yang ditampilkan di televisi atau pun yang didengarkan di radio.



Lembaga adat juga mengakui bahwa selama ini mereka belum melakukan upaya yang maksimal terhadap pelestarian seni budaya tutur yang ada. Namun ke depan para tetua adat beserta masyarakat berencana untuk membuat berbagai kegiatan berkaitan dengan upaya pelestarian seni budaya tutur ini. Upaya-upaya itu antaralain berupa menggali dan mempromosikan seni budaya tutur kepada generasi muda, membuat sanggar belajar seni budaya tutur, dan menyarankan kepada sekolah-sekolah untuk mengajarkan siswanya tentang seni budaya lokal.[]