Oleh Dedy Armayadi
Protes dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM hari-hari ini masih berlangsung di tanah air. Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan menuntut kenaikan harga BBM dibatalkan. Namun seperti yang sudah-sudah, pemerintah tampaknya tak bergeming. Harga BBM tetap saja naik. Pemerintah tetap bersikeras mempertahankan kebijakannya, meski aksi demontrasi kian meluas, bahkan hingga menimbulkan kekerasan.
Gejala ‘mandul’ alias mane duli pemerintah ini bukan untuk pertama kalinya. Pada pemerintahan SBY-JK, kenaikan harga BBM sudah tiga kali. Sepertinya pemerintah sudah cukup berpengalaman mengantisipasi demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan pernah bilang, “kenaikan harga BBM yang pertama sebesar 29 persen, aksi protesnya hanya seminggu, ketika kenaikan harga BBM yang kedua sampai 100 persen lebih, protesnya hanya dua minggu.”(Kompas, 30/ 5/ 2008). Dengan demikian, pemerintah bukannya mengubah kebijakan, tapi justru memperolok aksi-aksi demonstrasi.
Ada yang janggal dengan demokrasi kita hari ini. Di era reformasi ini kita memang diberikan kebebasan menyampaikan pendapat. Kita boleh kritis. Hak-hak politik dihargai. Tapi, apalah artinya semua itu jika tuntutan yang kita suarakan selalu tidak dihiraukan pemerintah?
Gerakan reformasi yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan Otoritarian Suharto satu dasawarsa lalu memang memberikan ruang bagi ekspresi, terutama dalam bentuk kebebasan pers dan terbukanya kesempatan untuk melakukan protes sosial dan industri. Namun, ruang ekspresi itu, setidaknya sampai hari ini belum mampu memberikan arti, serta merespon berbagai tuntutan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Nah, disinilah demokrasi eklusioner (exclusionary democracies) menemukan relevansinya.
Saya mengenal istilah demokrasi eklusioner ini dari buku Sudut Gelap Kemajuan Pembangunan karya Rita Abrahamsen (2000). Demokrasi eklusioner adalah demokrasi yang tidak mampu memberi tempat pada mayoritas masyarakat dan mengejawantahkan tuntutan mereka ke dalam bentuk yang signifikan.
Rita memandang demokrasi eklusioner lahir akibat pemerintah di suatu negara lebih peduli terhadap tuntutan konstituen eksternal, yakni lembaga donor dan kreditor luar negeri (IMF, World Bank), kapitalisme global, ketimbang konstituen domestik (rakyat).
Meskipun kajian Rita mengambil kasus di negara-negara berkembang benua Afrika, resonansi cengkraman lembaga donor dan kreditor ini amat terasa di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Bukan rahasia umum lagi, Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu negara miskin_meskipun kaya sumber daya alam, yang dana pembangunannya sebagian besar diperoleh dari bantuan pinjaman luar negeri. Bantuan ini dari tahun ke tahun terus bertambah, dan telah menjadi candu, menimbulkan ketergantungan, sebagai efek dari anggaran negara yang lebih besar pasak dari pada tiang. APBN kita selalu defisit oleh sebab belanja negara yang lebih besar ketimbang pendapatan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan “penyakit kronis” bangsa kita; korupsi, kolusi dan nepotisme. Kita merasa miris saat mendengar laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan kebocoran APBN mencapai 30 persen.
Ketergantungan negara kita atas bantuan pinjaman luar negeri membuat elite pemimpin di dalam pemerintahan saat ini tidak dapat menentukan pilihan lain. Dalam kesempatan itulah konstituen eksternal terus mencengkramkan kakinya untuk memaksakan globalisasi ekonomi. Maka kita tidak perlu heran jika pemerintah sekarang ini berbicara tentang privatisasi BUMN, perdagangan bebas, pencabutan subsidi, terutama pendidikan, kesehatan, pertanian, dan transportasi (dalam hal ini subsidi BBM). Kita tidak perlu heran dengan wacana tentang keinginan pemerintah untuk menjual 44 BUMN, pemotongan subsidi pupuk, komersialisasi pendidikan lewat RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP), pencabutan subsidi BBM.
Sejak pemerintahan terpilih, demikian kata Rita, maka ada dua konstituen yang menunggu dilayani; pertama konstituen eksternal seperti lembaga donor dan kreditor, serta perusahaan transnasional, kedua konstituen domestik, yakni rakyat yang telah mengantarkan pemerintahan tersebut duduk di kursi kekuasaan. Dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah SBY-JK, maka jelas pemerintahan saat ini lebih mengabdi kepada konstituen eksternal, ketimbang rakyatnya, yang telah memilih dan mengantarkannya ke tampuk kekuasaan. Praktis, pemerintahan yang ada sekarang tidak lagi dari, oleh dan untuk rakyat.
Kondisi negara yang lebih mementingkan lembaga donor dan kreditor luar negeri ini tentu saja melukai hati konstituen domestik. Kebijakan kenaikkan harga BBM misalnya, kian menambah penderitaan rakyat. Dari kebijakan itu wajar kiranya kemudian timbul ekses, demonstrasi dimana-mana, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan memprotes dan menuntut kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM itu dibatalkan. Namun, oleh karena pemerintah telah terjebak dalam skenario kapitalisme global, tak perlu heran jika aksi demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat itu tidak dihiraukan. Yang terjadi justru pemerintah berupaya meredam protes dan penolakan itu dalam bentuk tindakan refresif aparat, pengalihan isu, pemberian bantuan langsung tunai (BLT), bantuan khusus mahasiswa (BKM) dan sebagainya. Demokrasi eklusioner pada akhirnya tidak terhindarkan.
Kalau sudah begitu, baiknya kita perlu menimbang ulang demokrasi yang kita jalankan saat ini. Tentu kita tidak mau apa yang dikatakan Noreena Hertz (Silent Takeover and the Death of Democracy), yakni the death of democracy bakal terjadi. Apalagi realitas kini berbicara, demokrasi kita sedang menuju ke arah sana.
Sistem atau mekanisme demokrasi yang kita jalankan dewasa ini tampaknya hanya merupakan kamuflase. Partai-partai politik memang ada, pada periode yang ditentukan tetap ada kampanye pemilu, tetap ada pemilihan umum. Ketika diumumkan pemenang pemilu, rakyat ikut bersorak-sorai, gembira. Tetapi, di balik itu semua, rakyat sebenarnya hanya disuguhi sebuah pertunjukan teater saja. Yang ada di balik layar adalah pertarungan antar kapitalis, dan partai-partai itu akan mengadakan deal dengan para kapitalis. Kemenangan sebuah partai, pada akhirnya, adalah kemenangan konstituen eksternal.
Dengan demikian lawan kita sudah jelas, yakni konstituen eksternal yang memiliki kapital dan strategi yang sulit dibendung, dan pemerintahan yang berselingkuh dengan mereka. Tentu tanpa antisipasi akan memberikan dampak kepada matinya demokrasi. Dan tanpa formula yang esensial, kita akan sulit menghadapi mereka. Karena itu, konsolidasi demokrasi, redesain gerakan kebangkitan bangsa dalam konteks kekinian perlu segera dilakukan. Sebab jika tidak, tuntutan perubahan, perbaikan ekonomi rakyat tidak bakal terwujud. Penolakan kebijakan yang menindas rakyat tetap saja tidak dihiraukan pemerintah. []
Minggu, 27 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar