Sabtu, 26 Juli 2008

Mengingat Insiden Kampus Unas

Oleh Dedy Armayadi

Maftuh Fauzi (25), mahasiswa Akademi Bahasa Asing Universitas Nasional, yang menjadi korban insiden di Unas Jakarta, Jum’at (20/6) akhirnya meninggal dunia. Sebelum mengembuskan nafas terakhirnya almarhum sempat ditahan Kepolisian Resor Jakarta Selatan selama delapan hari, lalu jatuh sakit dan dirawat selama tiga minggu di rumah sakit.

Mendengar kabar ini sontak keluarga, civitas akademika Unas, teman-teman seperjuangan berduka. Pun ada perasaan campur aduk. Sedih, karena satu lagi teman menjadi korban kekerasan koersif negara. Geram, melihat polisi yang menyerang mahasiswa ke kampus Unas secara membabi buta.

Sekadar mengingatkan, pada 23 Mei 2008 lalu, sebelum dan beberapa saat setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, mahasiswa Unas berdemonstrasi sambil membakar ban dan memblokade jalan. Tak lama setelah itu terjadi bentrok antara mahasiswa dengan aparat kepolisian. Pagi keesokkan harinya tiba-tiba kampus Unas diserang aparat kepolisian (lebih lengkap lihat kronologis insiden Unas di http://www.kontras.org/)

Saat diserang mahasiswa-mahasiswi dipentung, ditendang, digebuki, dan diplonco. Polisi memperlakukan mahasiswa mirip tawanan perang. Mahasiswa dikumpulkan di lapangan tanpa mengenakan baju, berjongkok, lalu diarak menuju ke truk tronton. Saat itu tak hanya mahasiswa-mahasiswi, wartawan juga dipukuli. Ruang dan gedung kampus diobrak-abrik, termasuk perusakan 67 motor dan tiga mobil di parkiran. Sepertinya polisi hari itu benar-benar ngamuk. Pihak rektorat memperkirakan kerugian sebesar Rp 600 juta. Saja luar biasa!

Selepas kejadian itu lalu muncul perdebatan di media massa. Polisi bilang penyerangan sudah sesuai prosedur hukum, sedang mahasiswa menuding serangan itu melanggar HAM. Perdebatan ini sempat menghangat beberapa hari di media massa, namun berhenti dengan sendirinya setelah kekerasan lain, penyerangan FPI terhadap AKKBB di monas tiba-tiba mendominasi pemberitaan media massa.

Berita insiden Unas muncul kembali setelah Maftuh meninggal. Tidak terima kematian temannya, mahasiswa Unas berdemonstrasi kembali. Begitu pun aksi solidaritas mahasiswa kampus lain dari berbagai daerah. Mahasiswa menuntut pihak kepolisian bertanggung jawab atas penyerangan ke Kampus Unas, dan pemukulan kepada mahasiswa yang menyebabkan kematian. Sayangnya, hasil visum Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) menerangkan bahwa riwayat medis Maftuh positif terpapar virus HIV. Secara hukum hasil visum ini menguntungkan pihak kepolisian.

Akan tetapi Komnas HAM yang cukup konsen dengan kasus ini masih tetap percaya bahwa Maftuh meninggal karena luka bekas penganiayaan ketika polisi menyerang masuk Kampus Unas. Komisioner Komnas HAM Yosep Adiprasetyo menjelaskan itu berdasarkan pada keterangan Maftuh ketika diwawancarai oleh tim Komnas HAM serta rekam medis dari rumah sakit UKI. Mahasiswa Unas dan keluarga Maftuh pun membantah hasil visum RSPP tersebut.

Menyimak kasus kekerasan aparat kepolisian terhadap mahasiswa di kampus Unas ini ibarat memutar ulang kaset lama. Belum lepas dari trauma tragedi semanggi, trisakti, dan berbagai kasus kekerasan aparat kepolisian lainnya, sekarang kita dihadapkan pada insiden Unas. Polisi sebagai alat negara menggunakan kekerasan untuk mengatasi demonstrasi mahasiswa. Insiden Unas tentu kian menambah deret panjang korban jiwa penyerangan aparat kepolisian. Rasanya sakit melihat tragedi seperti ini kembali berulang.

Insiden Unas adalah salah satu bukti bahwa kekerasan negara tidak akan pernah berhenti selama penguasa yang memerintah resisten terhadap perlawanan. Pemerintah yang menaikkan harga BBM sebetulnya dipenuhi rasa takut yang amat sangat. Apalagi ini sudah ketiga kalinya. Perlawanan mahasiswa yang massif boleh jadi akan mendelegitimasi, bahkan menjatuhkan pemerintah. Sebab itu, pemerintah menggunakan alat negara untuk meredam perlawanan.

Penyerangan aparat kepolisian adalah salah satu bentuk ancaman kepada mahasiswa yang lain supaya jangan main-main dengan pemerintah. Sebagaimana yang diungkapkan Weber (1958), ancaman adalah bentuk kekerasan yang merupakan unsur penting kekuatan (power), kemampuan untuk mewujudkan keinginan sekalipun menghadapi keinginan yang berlawanan. Boleh jadi insiden Unas tak ubahnya ketika Spartacus dan budak-budak revolusionernya akhirnya kalah dan ditangkap orang Romawi, mereka disalibkan di pos-pos sepanjang jalan utama sehingga budak lain bisa melihat deretan panjang tubuh terpotong-potong dan memotivasi mereka untuk tidak melakukan revolusi.

Namun yang menarik penyerangan mahasiswa kali ini dibungkus dengan kemasan yang mengundang simpatik. Pertama, mahasiswa dituding mengganggu ketertiban, meresahkan masyarakat dengan mengadakan aksi pembakaran ban dan memblokade jalan. Dengan begitu aparat kepolisian datang sebagai pahlawan. Kedua, polisi mengarahkan kekerasan mereka kepada kasus kriminal dengan menunjukkan ditemukannya 179 gram ganja kering di dalam kampus. Kedua alasan ini kemudian agaknya membelokkan kasus penyerangan, bahkan jadi pembenar aparat kepolisian mengadakan penyerangan. Dengan kata lain, aparat kepolisian boleh menyerang kampus, boleh menggebuki, mementungi, menendang mahasiswa, dan boleh mengobrak-abrik kampus guna menertibkan demonstrasi mahasiswa.

Perlawanan mahasiswa kepada pemerintah yang anti rakyat dalam bentuk demonstrasi adalah kewajaran. Terlebih jika wakil rakyat, yang mestinya menyalurkan aspirasi rakyat tidak menjalankan tugasnya. Demonstrasi mahasiswa Unas ketika itu merupakan ekspresi kekecewaan terhadap kebijakan anarkis pemerintah yang menaikkan harga BBM. Mahasiswa kecewa, dan bahasa kekecewaan itu disimbolkan ke dalam bentuk pembakaran ban dan memblokade jalan. Tindakan mahasiswa ini dituding anarkis. Sebetulnya mana sih yang lebih anarkis, kebijakan kenaikan harga BBM sampai tiga kali dalam tiga tahun atau pembakaran ban dan memblokade jalan sebagai ekspresi kekecewaan?

Sekarang sering muncul pendapat; kalian boleh demo, tapi jangan anarkis. Namun jarang kita dengar ungkapan; pemerintah boleh mengeluarkan kebijakan, tapi jangan yang membebani rakyat. Kalau pemerintah tetap mengeluarkan kebijakan yang membebani rakyat, sementara wakil rakyat hanya bisa membeo, sesuai sifat gerakannya yaitu korektif (mengkoreksi kebijakan pemerintah) maka mahasiswa tentu akan tetap melawan. Apalagi pemerintah sekarang tak lagi dapat dipercaya mengatasi persoalan bangsa, dan bahkan sudah kadung anti rakyat. Saya sependapat dengan mendiang Pramoedya Ananta Toer, untuk memperbaiki kondisi pemerintahan dan negara sekarang ini angkatan muda Indonesia tidak cukup hanya berdemonstrasi, tapi harusnya melakukan revolusi total.

Insiden Unas adalah pelajaran berharga bagi mahasiswa. Pemerintah tampaknya sadar siapa lawannya ketika kebijakan yang dikeluarkannya mencederai rasa keadilan rakyat. Penyerangan ke kampus jadi salah bentuk upaya pemerintah meredam perlawanan mahasiswa. Lebih cerdik lagi ketika pemerintah mempromosikan cara mahasiswa berdemonstrasi yang menjurus ke anarkisme. Efeknya, pemerintah yang mengeluarkan kebijakan yang membuat rakyat kian menderita, tapi mahasiswa yang mau membela rakyat justru tak disukai. Ironis bukan? []

Tidak ada komentar: