Oleh Dedy Armayadi
Malam telah larut. Mimbar Untan, rumahku mulai sepi. Sesekali suara batuk Yusmar terdengar. Yusmar lagi tidur di atas tikar lampit dan berbantalkan kursi rusak. Tidurnya ngangkang. Berliur lagi.
Yusmar, anggota Miun yang paling tua, sedang sakit asma. Kata Yusmar, sakitnya kali ini parah. Sepertinya ada komplikasi dengan paru-paru basah. Beberapa waktu lalu dia pernah dibawa ke rumah sakit karena sakit yang sama. Tapi sakit yang kemarin tidak seberapa. Sakit yang sekarang sudah masuk stadium 1.
Stadium 1? Entahlah, barusan Yusmar bilang begitu. Aku tak tahu stadium 1 apa yang dia maksudkan. Yang ku tahu tadi dia baru ketemu dokter, dan dokter menyebut stadium 1 itu.
Aku tak mengerti istilah-istilah kedokteran. Yang aku tahu setiap malam Yusmar sulit tidur. Sebentar-sebentar dia batuk. Di saat matanya terpejam aku lihat nafasnya terasa berat. Bunyinya keras sekali. Seperti ngorok, tapi ini agak lebih halus. Saat bernafas tubuhnya juga naik turun, tidak seperti biasanya. Aku rasa dia menderita karena sakitnya itu. Sesekali dia bangun, lantas berusaha tidur kembali.
Kemarin Yusmar ngembun. Sembari memegang bantal, dia duduk menonton televisi. Terkadang dia bermain HP. Mungkin dia sms-an dengan pacarnya. Aku rasa kemarin dia benar-benar tidak bisa tidur. Dia ngembun bukan karena keinginannya. Batuk dan nafasnya yang berat membuatnya mudah bangun. Dia sesekali keluar-masuk, mungkin karena ingin membuang ludah atau dahaknya.
Yusmar orangnya memang agak sulit dinasehatin. Dulu pascasakit yang pertama, ia dilarang ngembun dan ngerokok. Cuma Yusmar yang sering siaran malam, mau tak mau harus sering ngembun. Apalagi yang namanya merokok. Aku tahu bagaimana rasanya bila ngga ngerokok satu hari saja pas lagi kerja. Karena sering ngembun dan merokok, sakit Yusmar akhirnya kambuh lagi.
Saat-saat sekarang, ketika Yusmar sedang sakit, teman-teman juga selalu nyaranin. Selain soal ngembun dan merokok, juga soal mandi. Memang Yusmar ngga ngerokok lagi, tapi sekarang ia jarang mandi.
Aku tak tahu apa hari ini Yusmar sudah mandi. Yang jelas badannya masih bau. Kemarin dia bilang belum mandi selama tiga hari. Wah...luar biasa. Tapi apa mau dikata, Yusmar orangnya agak bandel. Dia kayaknya nggak mau disuruh-suruh. Kita suruh mandi dia nggak mau. Dia hari ini pakai baju biru yang didepannya bertuliskan INFANTERI dan bercelana pendek, celana jeans yang dipotong pendek. Pakaian yang dia pakai sudah beberapa hari. Aku rasa kombinasi belum mandi, plus pakaian yang belum diganti praktis membuat badannya bau.
Sebagai teman aku sungguh khawatir. Tapi untuk saat ini aku tak bisa berbuat apa-apa selain berbicara dengannya. Menyediakannya air minum saat dia membutuhkan dan lain-lain.
Harusnya dia sekarang berada di rumah sakit, ditangani dokter dan dilayani perawat cantik. Tapi mungkin Yusmar lagi tak punya uang. Keluarganya mungkin belum tahu, atau sengaja tidak dikasi tahu. Teman-teman di Miun aku rasa juga lagi pada bokek. Aku belum gajian. Uang di dompet tinggal dua puluh ribuan. Agaknya susah buat bawa Yusmar ke rumah sakit. Karena keterbatasan dana itu, Yusmar untuk sementara hanya bisa berbaring di Miun.
Yusmar perlu dirontgen. Dokter perlu memastikan sakit apa yang dideritanya. Kelak kalau udah gajian mungkin aku akan bantu. Barangkali aku bisa membiayai rongtennya.
Mudahan Yusmar bisa lekas sembuh. Kita bisa bercanda lagi seperti dulu. Menggoda fans yang datang ke studio Untan Voice. Di Miun ada radio loh. Penyiar prianya ganteng-ganteng. Ada yang mirip artis lagi. Mulai dari Tora Sudiro, Marcellino, Ahmad Dhani sampai Joshua. Yusmar sendiri mirip Ahmad Dhani. Yusmar ganteng, walau bibirnya agak tebal. Janggutnya lebat. Rambutnya sekarang dicat merah. Cewek-cewek banyak yang naksir sama Yusmar. Biasanya sih para fans dan adik kelas di kampusnya. Bahkan di Miun juga banyak. Banyak yang naksir, sekaligus kecewa. Cuma syukurlah, cinta ditolak, dukun tidak bertindak. Cewek-cewek Miun yang naksir ya tahu sendirilah. Si itu lho...si itu...
Okey lah...buat teman-teman, mari kita sama-sama bantu Yusmar, supaya dia bisa sembuh seperti sedia kala. Ngga ada penyakit yang ngga bisa disembuhkan bukan?[]
Selasa, 29 Juli 2008
Mereka Tidak Butuh Pentungan
Oleh Dedy Armayadi
Nama aslinya Mashuri. Saya sering panggil dia dengan nama si abang. Kita sudah lama kenal. Hampir setiap hari saya beli rokok di gerobaknya.
Si abang seorang pedagang kaki lima. Ia mangkal tepat di pinggir Bundaran Untan. Sudah delapan tahun dia berjualan di gerobak. Dia menjual rokok, makanan ringan, air mineral, dan sebagainya. Dia juga menjual bensin dan buka bengkel kecil-kecilan seperti tambal ban, servis motor, dan lain-lain.
Hampir setiap hari ia dan keluarganya bekerja. Kalau tidak si abang yang jaga gerobak, adik atau istrinya yang jaga. Mereka sekeluarga kerja sebagai pedagang kaki lima. Dan penghasilannya lumayan, Rp 50.000 per hari. Penghasilannya itu dia gunakan buat membiayai kehidupan sehari-hari, bahkan untuk kuliah istri si abang dan membiayai anaknya yang di sekolah dasar.
Hampir setiap hari si abang gelisah, was-was, dan tak tenang. Satuan polisi pamong praja (Satpol PP) sewaktu-waktu bisa datang merazia. Kata si abang, belakangan Satpol PP rajin merazia. Barang-barang pedagang kaki lima yang tak sempat diamankan bakal dibawa Satpol PP. Si abang pernah kelahi dengan Satpol PP. Dia melawan karena mau mempertahankan kompresor, mesin satu-satu miliknya buat mengisi angin ban motor pelanggannya. Adik si abang bahkan pernah di borgol dan diangkut ke mobil. Juga karena melawan.
Si abang takut dengan Satpol PP. Tapi toh si abang tetap saja berjualan di Bundaran Untan. Buat menyiasati agar gerobaknya tak diangkut, dia hanya mengeluarkan gerobaknya di malam hari. Sedang siangnya dia tetap berjualan, tapi lebih untuk jual bensin dan buka bengkel.
Saya tanyakan kepada si abang, kenapa tetap berjualan di Bundaran Untan. Si abang bilang, dia tetap harus berjualan karena tidak punya kerjaan lain. Lagi pula jadi pedagang kaki lima kerjaan halal, ketimbang mencuri, merampok atau kerjaan yang tidak halal lainnya. Si abang juga bilang dia tak punya keahlian lain selain kerja-kerja seperti yang biasa dilakukannya. Si abang pandai menambal ban, makanya dia buka bengkel.
Dia pilih Bundaran Untan karena tempatnya strategis. Di situ banyak pelanggan. Mulai dari mahasiswa, dosen sampai pegawai. Orang-orang tak perlu jauh-jauh menyeret motornya ketika habis bensin atau bannya bocor. Karena di Bundaran Untan jadi tempat strategis, setiap harinya dia bisa dapat penghasilan lumayan. Tidak heran kalau si abang tetap bertahan, meski setiap hari dia dihantui rasa was-was, dikejar-kejar Satpol PP.
Pedagang kaki lima seperti si abang sering main kucing-kucingan dengan Satpol PP. Satpol PP datang, pedagang lari. Satpol PP pergi, pedagang balik lagi. Begitu seterusnya. Dan anehnya, pola pendekatan pemerintah belum banyak berubah. Pemerintah lebih suka cara-cara refresif. Gerobak pedagang kaki lima dianggap kumuh dan pengganggu keindahan kota sehingga layak digusur, bahkan menggunakan cara-cara kekerasan sekalipun.
Akhir-akhir ini sering muncul berita-berita di televisi tentang penggusuran pedagang kaki lima. Pernah suatu kali di sebuah pasar, ada seorang ibu yang tak berdaya, keranjang sayurannya diangkut Satpol PP. Satpol PP ketika itu memperlakukannya dengan kasar. Ibu itu sudah tua. Dia menangis. Saya sedih melihatnya.
Saya juga sering melihat berita Satpol PP bentrok dengan pedagang kaki lima. Satpol PP memukul pedagang. Sebaliknya pedagang memukuli Satpol PP. Saya prihatin. Kekerasan satu akan menimbulkan kekerasan lainnya. Satpol PP yang menggusur lahan pedagang berbalas dengan perlawanan. Cara-cara kekerasan seperti ini tidak efektif dan bukan jalan penyelesaian yang baik.
Pedagang kaki lima perlu dihargai. Kita tidak bersimpati dengan cara-cara kekerasan yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya. Di satu sisi kota ingin dibuat indah, bersih sehingga menarik pengunjung. Di sisi lain lapangan kerja terbatas. Pemerintah tidak berdaya menyediakan lapangan kerja. Tapi ketika masyarakat secara mandiri membuka usahanya, pemerintah menggusur paksa, yang seringkali tanpa disertai solusi. Pedagang kaki lima dianggap illegal, namun bila akan membuat ijin usaha, malah dibuat berbelit-belit.
Pedagang kaki lima seperti si abang buka usaha dari modal dan keringat sendiri. Mereka bekerja dari pagi, siang, malam ketemu pagi. Mereka pekerja keras. Mereka perlu dikenali, didengarkan, diberikan pengetahuan, dan disentuh dengan kasih sayang. Mereka punya naluri wirausaha, yang mestinya menjadi aset negara.
Hernan de Soto, ekonom Peru sukses membuat sektor informal di negaranya berkembang pesat. Hal itu setelah dia mengenali secara mendalam sektor informal di negaranya. Dia paham sebetulnya rakyat di negerinya tidak jauh berbeda dengan rakyat di Amerika dan Eropa. Namun muncul pertanyaan dilubuk hatinya, mengapa negaranya tetap saja miskin?
Setelah dia membentuk Institut for Liberty and Democracy (ILD) dan melakukan penelitian di banyak tempat, ia mengetahui tulang punggung ekonomi di negaranya digerakkan sektor informal. Dan justru pemerintahlah yang jadi penghambat berkembangnya sektor informal, karena lebih berpihak kepada para pengusaha berduit.
Hernan de Soto kemudian mengorganisir masyarakat yang bergerak di sektor informal. Mereka diupayakan diberi status hukum sehingga bisa mendapat kredit dari bank sebagai modal usaha. Mereka secara intens didampingi, difasilitasi dalam berbagai hal, termasuk dalam peningkatan kapasitas. Akhirnya langkah-langkahnya berhasil. Sektor informal di negaranya bergerak maju. Pemerintah di negaranya tertarik dan menggunakan modelnya dalam mengembangkan sektor informal di Peru.
Pendekatan Hernan de Soto lebih menekankan kasih sayang ketimbang pentungan. Pendekatan ini lebih elegan, karena menganggap sektor informal sepertihalnya pedagang kaki lima merupakan aset negara. Pemberdayaan sektor informal dilandaskan riset mendalam. Hernan de Soto tak segan-segan berkumpul dengan kaum papa. Dia berusaha mengenalnya. Menempatkan masyarakat di sektor informal sebagai manusia yang bermartabat.
Melalui pendekatannya itu, masyarakat dengan sendirinya dapat memahami dan mengerti bagaimana berusaha, sekaligus bersama-sama membuat kota menjadi bersih dan indah. Di lain pihak negara diuntungkan, karena terjadi peningkatan penerimaan pajak.
Gerakan Hernan de Soto bisa massif karena di dukung masyarakat. Hal ini kembali menegaskan sesungguhnya kekuatan itu berada di tangan masyarakat. Sementara pemerintah memfasilitasi dan mendorong sektor informal berkembang secara mandiri. Kalaulah pedagang kaki lima didekati dengan cara-cara yang lebih manusiawi, diberikan dampingan dan pembinaan, niscaya keinginan kita bersama dapat terwujud.
Si abang dan rekan-rekannya kini masih berjualan. Mereka masih was-was dan tak tenang. Persoalan ini perlu segera ditangani, tapi bukan dengan cara-cara kekerasan. Si abang bilang, dia tidak butuh pentungan, tapi yang mereka butuhkan adalah pengetahuan dan kasih sayang.[]
Nama aslinya Mashuri. Saya sering panggil dia dengan nama si abang. Kita sudah lama kenal. Hampir setiap hari saya beli rokok di gerobaknya.
Si abang seorang pedagang kaki lima. Ia mangkal tepat di pinggir Bundaran Untan. Sudah delapan tahun dia berjualan di gerobak. Dia menjual rokok, makanan ringan, air mineral, dan sebagainya. Dia juga menjual bensin dan buka bengkel kecil-kecilan seperti tambal ban, servis motor, dan lain-lain.
Hampir setiap hari ia dan keluarganya bekerja. Kalau tidak si abang yang jaga gerobak, adik atau istrinya yang jaga. Mereka sekeluarga kerja sebagai pedagang kaki lima. Dan penghasilannya lumayan, Rp 50.000 per hari. Penghasilannya itu dia gunakan buat membiayai kehidupan sehari-hari, bahkan untuk kuliah istri si abang dan membiayai anaknya yang di sekolah dasar.
Hampir setiap hari si abang gelisah, was-was, dan tak tenang. Satuan polisi pamong praja (Satpol PP) sewaktu-waktu bisa datang merazia. Kata si abang, belakangan Satpol PP rajin merazia. Barang-barang pedagang kaki lima yang tak sempat diamankan bakal dibawa Satpol PP. Si abang pernah kelahi dengan Satpol PP. Dia melawan karena mau mempertahankan kompresor, mesin satu-satu miliknya buat mengisi angin ban motor pelanggannya. Adik si abang bahkan pernah di borgol dan diangkut ke mobil. Juga karena melawan.
Si abang takut dengan Satpol PP. Tapi toh si abang tetap saja berjualan di Bundaran Untan. Buat menyiasati agar gerobaknya tak diangkut, dia hanya mengeluarkan gerobaknya di malam hari. Sedang siangnya dia tetap berjualan, tapi lebih untuk jual bensin dan buka bengkel.
Saya tanyakan kepada si abang, kenapa tetap berjualan di Bundaran Untan. Si abang bilang, dia tetap harus berjualan karena tidak punya kerjaan lain. Lagi pula jadi pedagang kaki lima kerjaan halal, ketimbang mencuri, merampok atau kerjaan yang tidak halal lainnya. Si abang juga bilang dia tak punya keahlian lain selain kerja-kerja seperti yang biasa dilakukannya. Si abang pandai menambal ban, makanya dia buka bengkel.
Dia pilih Bundaran Untan karena tempatnya strategis. Di situ banyak pelanggan. Mulai dari mahasiswa, dosen sampai pegawai. Orang-orang tak perlu jauh-jauh menyeret motornya ketika habis bensin atau bannya bocor. Karena di Bundaran Untan jadi tempat strategis, setiap harinya dia bisa dapat penghasilan lumayan. Tidak heran kalau si abang tetap bertahan, meski setiap hari dia dihantui rasa was-was, dikejar-kejar Satpol PP.
Pedagang kaki lima seperti si abang sering main kucing-kucingan dengan Satpol PP. Satpol PP datang, pedagang lari. Satpol PP pergi, pedagang balik lagi. Begitu seterusnya. Dan anehnya, pola pendekatan pemerintah belum banyak berubah. Pemerintah lebih suka cara-cara refresif. Gerobak pedagang kaki lima dianggap kumuh dan pengganggu keindahan kota sehingga layak digusur, bahkan menggunakan cara-cara kekerasan sekalipun.
Akhir-akhir ini sering muncul berita-berita di televisi tentang penggusuran pedagang kaki lima. Pernah suatu kali di sebuah pasar, ada seorang ibu yang tak berdaya, keranjang sayurannya diangkut Satpol PP. Satpol PP ketika itu memperlakukannya dengan kasar. Ibu itu sudah tua. Dia menangis. Saya sedih melihatnya.
Saya juga sering melihat berita Satpol PP bentrok dengan pedagang kaki lima. Satpol PP memukul pedagang. Sebaliknya pedagang memukuli Satpol PP. Saya prihatin. Kekerasan satu akan menimbulkan kekerasan lainnya. Satpol PP yang menggusur lahan pedagang berbalas dengan perlawanan. Cara-cara kekerasan seperti ini tidak efektif dan bukan jalan penyelesaian yang baik.
Pedagang kaki lima perlu dihargai. Kita tidak bersimpati dengan cara-cara kekerasan yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya. Di satu sisi kota ingin dibuat indah, bersih sehingga menarik pengunjung. Di sisi lain lapangan kerja terbatas. Pemerintah tidak berdaya menyediakan lapangan kerja. Tapi ketika masyarakat secara mandiri membuka usahanya, pemerintah menggusur paksa, yang seringkali tanpa disertai solusi. Pedagang kaki lima dianggap illegal, namun bila akan membuat ijin usaha, malah dibuat berbelit-belit.
Pedagang kaki lima seperti si abang buka usaha dari modal dan keringat sendiri. Mereka bekerja dari pagi, siang, malam ketemu pagi. Mereka pekerja keras. Mereka perlu dikenali, didengarkan, diberikan pengetahuan, dan disentuh dengan kasih sayang. Mereka punya naluri wirausaha, yang mestinya menjadi aset negara.
Hernan de Soto, ekonom Peru sukses membuat sektor informal di negaranya berkembang pesat. Hal itu setelah dia mengenali secara mendalam sektor informal di negaranya. Dia paham sebetulnya rakyat di negerinya tidak jauh berbeda dengan rakyat di Amerika dan Eropa. Namun muncul pertanyaan dilubuk hatinya, mengapa negaranya tetap saja miskin?
Setelah dia membentuk Institut for Liberty and Democracy (ILD) dan melakukan penelitian di banyak tempat, ia mengetahui tulang punggung ekonomi di negaranya digerakkan sektor informal. Dan justru pemerintahlah yang jadi penghambat berkembangnya sektor informal, karena lebih berpihak kepada para pengusaha berduit.
Hernan de Soto kemudian mengorganisir masyarakat yang bergerak di sektor informal. Mereka diupayakan diberi status hukum sehingga bisa mendapat kredit dari bank sebagai modal usaha. Mereka secara intens didampingi, difasilitasi dalam berbagai hal, termasuk dalam peningkatan kapasitas. Akhirnya langkah-langkahnya berhasil. Sektor informal di negaranya bergerak maju. Pemerintah di negaranya tertarik dan menggunakan modelnya dalam mengembangkan sektor informal di Peru.
Pendekatan Hernan de Soto lebih menekankan kasih sayang ketimbang pentungan. Pendekatan ini lebih elegan, karena menganggap sektor informal sepertihalnya pedagang kaki lima merupakan aset negara. Pemberdayaan sektor informal dilandaskan riset mendalam. Hernan de Soto tak segan-segan berkumpul dengan kaum papa. Dia berusaha mengenalnya. Menempatkan masyarakat di sektor informal sebagai manusia yang bermartabat.
Melalui pendekatannya itu, masyarakat dengan sendirinya dapat memahami dan mengerti bagaimana berusaha, sekaligus bersama-sama membuat kota menjadi bersih dan indah. Di lain pihak negara diuntungkan, karena terjadi peningkatan penerimaan pajak.
Gerakan Hernan de Soto bisa massif karena di dukung masyarakat. Hal ini kembali menegaskan sesungguhnya kekuatan itu berada di tangan masyarakat. Sementara pemerintah memfasilitasi dan mendorong sektor informal berkembang secara mandiri. Kalaulah pedagang kaki lima didekati dengan cara-cara yang lebih manusiawi, diberikan dampingan dan pembinaan, niscaya keinginan kita bersama dapat terwujud.
Si abang dan rekan-rekannya kini masih berjualan. Mereka masih was-was dan tak tenang. Persoalan ini perlu segera ditangani, tapi bukan dengan cara-cara kekerasan. Si abang bilang, dia tidak butuh pentungan, tapi yang mereka butuhkan adalah pengetahuan dan kasih sayang.[]
Minggu, 27 Juli 2008
Demokrasi Eklusioner
Oleh Dedy Armayadi
Protes dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM hari-hari ini masih berlangsung di tanah air. Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan menuntut kenaikan harga BBM dibatalkan. Namun seperti yang sudah-sudah, pemerintah tampaknya tak bergeming. Harga BBM tetap saja naik. Pemerintah tetap bersikeras mempertahankan kebijakannya, meski aksi demontrasi kian meluas, bahkan hingga menimbulkan kekerasan.
Gejala ‘mandul’ alias mane duli pemerintah ini bukan untuk pertama kalinya. Pada pemerintahan SBY-JK, kenaikan harga BBM sudah tiga kali. Sepertinya pemerintah sudah cukup berpengalaman mengantisipasi demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan pernah bilang, “kenaikan harga BBM yang pertama sebesar 29 persen, aksi protesnya hanya seminggu, ketika kenaikan harga BBM yang kedua sampai 100 persen lebih, protesnya hanya dua minggu.”(Kompas, 30/ 5/ 2008). Dengan demikian, pemerintah bukannya mengubah kebijakan, tapi justru memperolok aksi-aksi demonstrasi.
Ada yang janggal dengan demokrasi kita hari ini. Di era reformasi ini kita memang diberikan kebebasan menyampaikan pendapat. Kita boleh kritis. Hak-hak politik dihargai. Tapi, apalah artinya semua itu jika tuntutan yang kita suarakan selalu tidak dihiraukan pemerintah?
Gerakan reformasi yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan Otoritarian Suharto satu dasawarsa lalu memang memberikan ruang bagi ekspresi, terutama dalam bentuk kebebasan pers dan terbukanya kesempatan untuk melakukan protes sosial dan industri. Namun, ruang ekspresi itu, setidaknya sampai hari ini belum mampu memberikan arti, serta merespon berbagai tuntutan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Nah, disinilah demokrasi eklusioner (exclusionary democracies) menemukan relevansinya.
Saya mengenal istilah demokrasi eklusioner ini dari buku Sudut Gelap Kemajuan Pembangunan karya Rita Abrahamsen (2000). Demokrasi eklusioner adalah demokrasi yang tidak mampu memberi tempat pada mayoritas masyarakat dan mengejawantahkan tuntutan mereka ke dalam bentuk yang signifikan.
Rita memandang demokrasi eklusioner lahir akibat pemerintah di suatu negara lebih peduli terhadap tuntutan konstituen eksternal, yakni lembaga donor dan kreditor luar negeri (IMF, World Bank), kapitalisme global, ketimbang konstituen domestik (rakyat).
Meskipun kajian Rita mengambil kasus di negara-negara berkembang benua Afrika, resonansi cengkraman lembaga donor dan kreditor ini amat terasa di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Bukan rahasia umum lagi, Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu negara miskin_meskipun kaya sumber daya alam, yang dana pembangunannya sebagian besar diperoleh dari bantuan pinjaman luar negeri. Bantuan ini dari tahun ke tahun terus bertambah, dan telah menjadi candu, menimbulkan ketergantungan, sebagai efek dari anggaran negara yang lebih besar pasak dari pada tiang. APBN kita selalu defisit oleh sebab belanja negara yang lebih besar ketimbang pendapatan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan “penyakit kronis” bangsa kita; korupsi, kolusi dan nepotisme. Kita merasa miris saat mendengar laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan kebocoran APBN mencapai 30 persen.
Ketergantungan negara kita atas bantuan pinjaman luar negeri membuat elite pemimpin di dalam pemerintahan saat ini tidak dapat menentukan pilihan lain. Dalam kesempatan itulah konstituen eksternal terus mencengkramkan kakinya untuk memaksakan globalisasi ekonomi. Maka kita tidak perlu heran jika pemerintah sekarang ini berbicara tentang privatisasi BUMN, perdagangan bebas, pencabutan subsidi, terutama pendidikan, kesehatan, pertanian, dan transportasi (dalam hal ini subsidi BBM). Kita tidak perlu heran dengan wacana tentang keinginan pemerintah untuk menjual 44 BUMN, pemotongan subsidi pupuk, komersialisasi pendidikan lewat RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP), pencabutan subsidi BBM.
Sejak pemerintahan terpilih, demikian kata Rita, maka ada dua konstituen yang menunggu dilayani; pertama konstituen eksternal seperti lembaga donor dan kreditor, serta perusahaan transnasional, kedua konstituen domestik, yakni rakyat yang telah mengantarkan pemerintahan tersebut duduk di kursi kekuasaan. Dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah SBY-JK, maka jelas pemerintahan saat ini lebih mengabdi kepada konstituen eksternal, ketimbang rakyatnya, yang telah memilih dan mengantarkannya ke tampuk kekuasaan. Praktis, pemerintahan yang ada sekarang tidak lagi dari, oleh dan untuk rakyat.
Kondisi negara yang lebih mementingkan lembaga donor dan kreditor luar negeri ini tentu saja melukai hati konstituen domestik. Kebijakan kenaikkan harga BBM misalnya, kian menambah penderitaan rakyat. Dari kebijakan itu wajar kiranya kemudian timbul ekses, demonstrasi dimana-mana, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan memprotes dan menuntut kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM itu dibatalkan. Namun, oleh karena pemerintah telah terjebak dalam skenario kapitalisme global, tak perlu heran jika aksi demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat itu tidak dihiraukan. Yang terjadi justru pemerintah berupaya meredam protes dan penolakan itu dalam bentuk tindakan refresif aparat, pengalihan isu, pemberian bantuan langsung tunai (BLT), bantuan khusus mahasiswa (BKM) dan sebagainya. Demokrasi eklusioner pada akhirnya tidak terhindarkan.
Kalau sudah begitu, baiknya kita perlu menimbang ulang demokrasi yang kita jalankan saat ini. Tentu kita tidak mau apa yang dikatakan Noreena Hertz (Silent Takeover and the Death of Democracy), yakni the death of democracy bakal terjadi. Apalagi realitas kini berbicara, demokrasi kita sedang menuju ke arah sana.
Sistem atau mekanisme demokrasi yang kita jalankan dewasa ini tampaknya hanya merupakan kamuflase. Partai-partai politik memang ada, pada periode yang ditentukan tetap ada kampanye pemilu, tetap ada pemilihan umum. Ketika diumumkan pemenang pemilu, rakyat ikut bersorak-sorai, gembira. Tetapi, di balik itu semua, rakyat sebenarnya hanya disuguhi sebuah pertunjukan teater saja. Yang ada di balik layar adalah pertarungan antar kapitalis, dan partai-partai itu akan mengadakan deal dengan para kapitalis. Kemenangan sebuah partai, pada akhirnya, adalah kemenangan konstituen eksternal.
Dengan demikian lawan kita sudah jelas, yakni konstituen eksternal yang memiliki kapital dan strategi yang sulit dibendung, dan pemerintahan yang berselingkuh dengan mereka. Tentu tanpa antisipasi akan memberikan dampak kepada matinya demokrasi. Dan tanpa formula yang esensial, kita akan sulit menghadapi mereka. Karena itu, konsolidasi demokrasi, redesain gerakan kebangkitan bangsa dalam konteks kekinian perlu segera dilakukan. Sebab jika tidak, tuntutan perubahan, perbaikan ekonomi rakyat tidak bakal terwujud. Penolakan kebijakan yang menindas rakyat tetap saja tidak dihiraukan pemerintah. []
Protes dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM hari-hari ini masih berlangsung di tanah air. Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan menuntut kenaikan harga BBM dibatalkan. Namun seperti yang sudah-sudah, pemerintah tampaknya tak bergeming. Harga BBM tetap saja naik. Pemerintah tetap bersikeras mempertahankan kebijakannya, meski aksi demontrasi kian meluas, bahkan hingga menimbulkan kekerasan.
Gejala ‘mandul’ alias mane duli pemerintah ini bukan untuk pertama kalinya. Pada pemerintahan SBY-JK, kenaikan harga BBM sudah tiga kali. Sepertinya pemerintah sudah cukup berpengalaman mengantisipasi demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan pernah bilang, “kenaikan harga BBM yang pertama sebesar 29 persen, aksi protesnya hanya seminggu, ketika kenaikan harga BBM yang kedua sampai 100 persen lebih, protesnya hanya dua minggu.”(Kompas, 30/ 5/ 2008). Dengan demikian, pemerintah bukannya mengubah kebijakan, tapi justru memperolok aksi-aksi demonstrasi.
Ada yang janggal dengan demokrasi kita hari ini. Di era reformasi ini kita memang diberikan kebebasan menyampaikan pendapat. Kita boleh kritis. Hak-hak politik dihargai. Tapi, apalah artinya semua itu jika tuntutan yang kita suarakan selalu tidak dihiraukan pemerintah?
Gerakan reformasi yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan Otoritarian Suharto satu dasawarsa lalu memang memberikan ruang bagi ekspresi, terutama dalam bentuk kebebasan pers dan terbukanya kesempatan untuk melakukan protes sosial dan industri. Namun, ruang ekspresi itu, setidaknya sampai hari ini belum mampu memberikan arti, serta merespon berbagai tuntutan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Nah, disinilah demokrasi eklusioner (exclusionary democracies) menemukan relevansinya.
Saya mengenal istilah demokrasi eklusioner ini dari buku Sudut Gelap Kemajuan Pembangunan karya Rita Abrahamsen (2000). Demokrasi eklusioner adalah demokrasi yang tidak mampu memberi tempat pada mayoritas masyarakat dan mengejawantahkan tuntutan mereka ke dalam bentuk yang signifikan.
Rita memandang demokrasi eklusioner lahir akibat pemerintah di suatu negara lebih peduli terhadap tuntutan konstituen eksternal, yakni lembaga donor dan kreditor luar negeri (IMF, World Bank), kapitalisme global, ketimbang konstituen domestik (rakyat).
Meskipun kajian Rita mengambil kasus di negara-negara berkembang benua Afrika, resonansi cengkraman lembaga donor dan kreditor ini amat terasa di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Bukan rahasia umum lagi, Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu negara miskin_meskipun kaya sumber daya alam, yang dana pembangunannya sebagian besar diperoleh dari bantuan pinjaman luar negeri. Bantuan ini dari tahun ke tahun terus bertambah, dan telah menjadi candu, menimbulkan ketergantungan, sebagai efek dari anggaran negara yang lebih besar pasak dari pada tiang. APBN kita selalu defisit oleh sebab belanja negara yang lebih besar ketimbang pendapatan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan “penyakit kronis” bangsa kita; korupsi, kolusi dan nepotisme. Kita merasa miris saat mendengar laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan kebocoran APBN mencapai 30 persen.
Ketergantungan negara kita atas bantuan pinjaman luar negeri membuat elite pemimpin di dalam pemerintahan saat ini tidak dapat menentukan pilihan lain. Dalam kesempatan itulah konstituen eksternal terus mencengkramkan kakinya untuk memaksakan globalisasi ekonomi. Maka kita tidak perlu heran jika pemerintah sekarang ini berbicara tentang privatisasi BUMN, perdagangan bebas, pencabutan subsidi, terutama pendidikan, kesehatan, pertanian, dan transportasi (dalam hal ini subsidi BBM). Kita tidak perlu heran dengan wacana tentang keinginan pemerintah untuk menjual 44 BUMN, pemotongan subsidi pupuk, komersialisasi pendidikan lewat RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP), pencabutan subsidi BBM.
Sejak pemerintahan terpilih, demikian kata Rita, maka ada dua konstituen yang menunggu dilayani; pertama konstituen eksternal seperti lembaga donor dan kreditor, serta perusahaan transnasional, kedua konstituen domestik, yakni rakyat yang telah mengantarkan pemerintahan tersebut duduk di kursi kekuasaan. Dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah SBY-JK, maka jelas pemerintahan saat ini lebih mengabdi kepada konstituen eksternal, ketimbang rakyatnya, yang telah memilih dan mengantarkannya ke tampuk kekuasaan. Praktis, pemerintahan yang ada sekarang tidak lagi dari, oleh dan untuk rakyat.
Kondisi negara yang lebih mementingkan lembaga donor dan kreditor luar negeri ini tentu saja melukai hati konstituen domestik. Kebijakan kenaikkan harga BBM misalnya, kian menambah penderitaan rakyat. Dari kebijakan itu wajar kiranya kemudian timbul ekses, demonstrasi dimana-mana, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan memprotes dan menuntut kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM itu dibatalkan. Namun, oleh karena pemerintah telah terjebak dalam skenario kapitalisme global, tak perlu heran jika aksi demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat itu tidak dihiraukan. Yang terjadi justru pemerintah berupaya meredam protes dan penolakan itu dalam bentuk tindakan refresif aparat, pengalihan isu, pemberian bantuan langsung tunai (BLT), bantuan khusus mahasiswa (BKM) dan sebagainya. Demokrasi eklusioner pada akhirnya tidak terhindarkan.
Kalau sudah begitu, baiknya kita perlu menimbang ulang demokrasi yang kita jalankan saat ini. Tentu kita tidak mau apa yang dikatakan Noreena Hertz (Silent Takeover and the Death of Democracy), yakni the death of democracy bakal terjadi. Apalagi realitas kini berbicara, demokrasi kita sedang menuju ke arah sana.
Sistem atau mekanisme demokrasi yang kita jalankan dewasa ini tampaknya hanya merupakan kamuflase. Partai-partai politik memang ada, pada periode yang ditentukan tetap ada kampanye pemilu, tetap ada pemilihan umum. Ketika diumumkan pemenang pemilu, rakyat ikut bersorak-sorai, gembira. Tetapi, di balik itu semua, rakyat sebenarnya hanya disuguhi sebuah pertunjukan teater saja. Yang ada di balik layar adalah pertarungan antar kapitalis, dan partai-partai itu akan mengadakan deal dengan para kapitalis. Kemenangan sebuah partai, pada akhirnya, adalah kemenangan konstituen eksternal.
Dengan demikian lawan kita sudah jelas, yakni konstituen eksternal yang memiliki kapital dan strategi yang sulit dibendung, dan pemerintahan yang berselingkuh dengan mereka. Tentu tanpa antisipasi akan memberikan dampak kepada matinya demokrasi. Dan tanpa formula yang esensial, kita akan sulit menghadapi mereka. Karena itu, konsolidasi demokrasi, redesain gerakan kebangkitan bangsa dalam konteks kekinian perlu segera dilakukan. Sebab jika tidak, tuntutan perubahan, perbaikan ekonomi rakyat tidak bakal terwujud. Penolakan kebijakan yang menindas rakyat tetap saja tidak dihiraukan pemerintah. []
Ustadz Penyentuh Hati
Oleh Dedy Armayadi
Petang tadi sungguh menakjubkan. Saya terkesan menyaksikan sebuah reality show “Naik Haji Gratis”. Seorang ustadz bernama Abdurrahman terpilih menjadi peserta yang berhak ikut “Naik Haji Gratis” itu.
Saya tidak terlalu paham seperti apa kriteria pemilihan orang seperti Ustadz Abdurrahman. Tapi dari rangkaian pengujian yang dilakukan tim reality show (RS) saya bisa melihat seperti apa sosok Ustadz Abdurrahman sehingga terpilih menjadi peserta "Naik Haji Gratis".
Dengan kamera tersembunyi, tim RS mengamati keseharian aktivitas ustadz. Sekali waktu tim mengamati ustadz ketika mengajar di madrasah. Ustadz kala itu terlihat sedang mengajar. Disaat ustadz mengajar itu, tiba-tiba datang seorang muridnya. Murid ini terlambat. Ia kemudian masuk ke kelas dan menghadap pak ustadz.
“Maaf pak ustadz, saya terlambat,"kata murid tadi. "Saya ke sini mau bilang sama pak Ustadz. Saya tak bisa melanjutkan sekolah lagi.”
“Kenapa?”tanya pak Ustadz perlahan.
“Ibu saya tak punya biaya,”ujar si murid polos.
Ustadz lalu merangkul si murid. Dia mencoba menghadapinya dengan tenang. Ustadz menyarankan kepada muridnya itu agar tidak berhenti sekolah. Sekalau tidak mampu, Ustadz mau menanggung biaya si murid.
Tak hanya sekadar mengamati aktivitas Ustadz Abdurrahman, Tim RS juga melakukan pengujian.
Saat itu siang terasa terik. Di jalanan kendaraan berlalu lalang. Tak urung debu-debu jalanan beterbangan. Ustadz berdiri di tepi jalan. Selang beberapa menit, tak jauh darinya berhenti sebuah oplet hijau. Seorang ibu turun dari oplet itu. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terlihat ibu dan supir oplet terlibat pertengkaran. Rupanya ibu tadi tidak memiliki uang untuk membayar supir oplet.
Pertengkaran masih berlangsung ketika Ustadz datang mendekat. Ia kemudian bertanya kepada ibu tadi. Dan setelah itu terlihat ustadz memberikan selembar uang ribuan kepada ibu. Ustadz telah berhasil melewati pengujian itu.
Malam harinya tim RS mendatangi sebuah surau tempat ustadz menjadi imam dan tempat berkumpul murid-murid pengajiannya, ibu-ibu dan remaja. Namun entah bagaimana skenarionya, yang jelas tim RS bukan hendak bertemu Ustadz Abdurrahman, tapi bertanya keberadaan Ustadz Yusuf. Karena di surau tak ada Ustadz Yusuf, tim RS keluar dari surau. Kebetulan saat Tim RS keluar, mereka berpapasan dengan Ustadz Abdurrahman yang baru saja tiba di surau.
Saat berpapasan itulah Tim RS bertanya kepada Ustadz Abdurrahman tentang keberadaan Ustadz Yusuf. Entah bagaimana pembicaraan langsung mengarah ke Ustadz Abdurrahman. Tim RS bertanya kepada Ustadz tentang dirinya.
Rupanya pak Ustadz memiliki tiga anak. Ada yang masih kuliah dan SMA, yang tua menjadi guru TK. Pendapatan pak ustadz dari mengajar di madrasah kurang lebih Rp 500.000 per bulan.
"Apa cukup pak Ustadz?" tanya seorang dari Tim RS. “Ya, cukup ngga cukuplah, bagaimana lagi,” jawab pak Ustadz.
Lalu bagaimana kalau tidak cukup?
“he...he... biasanya saya pinjam uang dulu sama anak,“kata pak Ustadz malu-malu.
Walaupun penghasilan pak Ustadz tidak seberapa, tapi ia tetap bersyukur dengan apa yang telah diperolehnya saat ini.
Tim RS dan pak Ustadz kemudian masuk ke dalam surau. Di sana telah menunggu murid-murid pengajiannya. Menurut murid-muridnya, pak Ustadz adalah sosok yang sabar. “Kesabarannya paling tinggi,”kata seorang ibu. Mungkin karena itulah pak Ustadz mudah merangkul ibu-ibu, muridnya.
Kemudian Tim RS mengumumkan pemenang hadiah "Naik Haji Gratis". Mendengar kabar pak Ustadz terpilih sebagai pemenang, sontak ibu-ibu dan remaja pengajian itu bersyukur. Bahkan terlihat dari mereka ada yang berkaca-kaca. Disela-sela ucap syukur yang mendalam dari muridnya, pak ustadz hanya diam, walaupun tampak dari garis wajahnya memancarkan kebahagian.
Saya senang dengan kisah dari reality show ini, terutama kisah bagaimana cara pak ustadz mendekati anak-anak muridnya, dan ibu-ibu pengajian. Apalagi tindakan dan perkataan pak ustadz memang mengundang simpati. Karena itu pulalah pak ustadz dicintai murid-muridnya dan mudah merangkul ibu-ibu. Dan yang lebih penting adalah pak ustadz berhasil menyampaikan syiar Islam tidak dengan kekerasan dan kekuatan fisik. Tapi dengan menunjukkan perkataan yang lembut dan sifat yang patut diteladani.[]
Petang tadi sungguh menakjubkan. Saya terkesan menyaksikan sebuah reality show “Naik Haji Gratis”. Seorang ustadz bernama Abdurrahman terpilih menjadi peserta yang berhak ikut “Naik Haji Gratis” itu.
Saya tidak terlalu paham seperti apa kriteria pemilihan orang seperti Ustadz Abdurrahman. Tapi dari rangkaian pengujian yang dilakukan tim reality show (RS) saya bisa melihat seperti apa sosok Ustadz Abdurrahman sehingga terpilih menjadi peserta "Naik Haji Gratis".
Dengan kamera tersembunyi, tim RS mengamati keseharian aktivitas ustadz. Sekali waktu tim mengamati ustadz ketika mengajar di madrasah. Ustadz kala itu terlihat sedang mengajar. Disaat ustadz mengajar itu, tiba-tiba datang seorang muridnya. Murid ini terlambat. Ia kemudian masuk ke kelas dan menghadap pak ustadz.
“Maaf pak ustadz, saya terlambat,"kata murid tadi. "Saya ke sini mau bilang sama pak Ustadz. Saya tak bisa melanjutkan sekolah lagi.”
“Kenapa?”tanya pak Ustadz perlahan.
“Ibu saya tak punya biaya,”ujar si murid polos.
Ustadz lalu merangkul si murid. Dia mencoba menghadapinya dengan tenang. Ustadz menyarankan kepada muridnya itu agar tidak berhenti sekolah. Sekalau tidak mampu, Ustadz mau menanggung biaya si murid.
Tak hanya sekadar mengamati aktivitas Ustadz Abdurrahman, Tim RS juga melakukan pengujian.
Saat itu siang terasa terik. Di jalanan kendaraan berlalu lalang. Tak urung debu-debu jalanan beterbangan. Ustadz berdiri di tepi jalan. Selang beberapa menit, tak jauh darinya berhenti sebuah oplet hijau. Seorang ibu turun dari oplet itu. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terlihat ibu dan supir oplet terlibat pertengkaran. Rupanya ibu tadi tidak memiliki uang untuk membayar supir oplet.
Pertengkaran masih berlangsung ketika Ustadz datang mendekat. Ia kemudian bertanya kepada ibu tadi. Dan setelah itu terlihat ustadz memberikan selembar uang ribuan kepada ibu. Ustadz telah berhasil melewati pengujian itu.
Malam harinya tim RS mendatangi sebuah surau tempat ustadz menjadi imam dan tempat berkumpul murid-murid pengajiannya, ibu-ibu dan remaja. Namun entah bagaimana skenarionya, yang jelas tim RS bukan hendak bertemu Ustadz Abdurrahman, tapi bertanya keberadaan Ustadz Yusuf. Karena di surau tak ada Ustadz Yusuf, tim RS keluar dari surau. Kebetulan saat Tim RS keluar, mereka berpapasan dengan Ustadz Abdurrahman yang baru saja tiba di surau.
Saat berpapasan itulah Tim RS bertanya kepada Ustadz Abdurrahman tentang keberadaan Ustadz Yusuf. Entah bagaimana pembicaraan langsung mengarah ke Ustadz Abdurrahman. Tim RS bertanya kepada Ustadz tentang dirinya.
Rupanya pak Ustadz memiliki tiga anak. Ada yang masih kuliah dan SMA, yang tua menjadi guru TK. Pendapatan pak ustadz dari mengajar di madrasah kurang lebih Rp 500.000 per bulan.
"Apa cukup pak Ustadz?" tanya seorang dari Tim RS. “Ya, cukup ngga cukuplah, bagaimana lagi,” jawab pak Ustadz.
Lalu bagaimana kalau tidak cukup?
“he...he... biasanya saya pinjam uang dulu sama anak,“kata pak Ustadz malu-malu.
Walaupun penghasilan pak Ustadz tidak seberapa, tapi ia tetap bersyukur dengan apa yang telah diperolehnya saat ini.
Tim RS dan pak Ustadz kemudian masuk ke dalam surau. Di sana telah menunggu murid-murid pengajiannya. Menurut murid-muridnya, pak Ustadz adalah sosok yang sabar. “Kesabarannya paling tinggi,”kata seorang ibu. Mungkin karena itulah pak Ustadz mudah merangkul ibu-ibu, muridnya.
Kemudian Tim RS mengumumkan pemenang hadiah "Naik Haji Gratis". Mendengar kabar pak Ustadz terpilih sebagai pemenang, sontak ibu-ibu dan remaja pengajian itu bersyukur. Bahkan terlihat dari mereka ada yang berkaca-kaca. Disela-sela ucap syukur yang mendalam dari muridnya, pak ustadz hanya diam, walaupun tampak dari garis wajahnya memancarkan kebahagian.
Saya senang dengan kisah dari reality show ini, terutama kisah bagaimana cara pak ustadz mendekati anak-anak muridnya, dan ibu-ibu pengajian. Apalagi tindakan dan perkataan pak ustadz memang mengundang simpati. Karena itu pulalah pak ustadz dicintai murid-muridnya dan mudah merangkul ibu-ibu. Dan yang lebih penting adalah pak ustadz berhasil menyampaikan syiar Islam tidak dengan kekerasan dan kekuatan fisik. Tapi dengan menunjukkan perkataan yang lembut dan sifat yang patut diteladani.[]
Sabtu, 26 Juli 2008
Seni Budaya Tutur dan Perdamaian
Oleh Dedy Armayadi
Masyarakat adat Dayak di Kecamatan Kelam Permai, Sintang, Kalimantan Barat, memiliki kekayaan seni budaya tutur. Seni budaya tutur yang dimaksud adalah syair atau pun ceritera yang disampaikan kepada seseorang atau khalayak ramai. Rata-rata ucapan atau syair dari seni budaya tutur ini disampaikan dengan cara bersenandung, terkecuali untuk cerita atau dongeng yang biasanya dituturkan secara datar. Seni budaya tutur ini ada yang disampaikan secara sepihak, namun ada juga yang berbalas atau pun bersahut-sahutan.
Seni budaya tutur biasanya berupa kisah atau ungkapan tentang perihal tertentu, seperti kisah tentang asal mula kehidupan, keseharian, mitos, atau hanya berupa ungkapan yang berfungsi sebagai sindiran, pujian, nasehat, atau bahkan untuk memanjatkan doa. Oleh karenanya disamping untuk menghibur, seni budaya tutur ini juga ada yang bersifat semireligius.
Biasanya seni budaya tutur masyarakat dimainkan di suatu acara, seperti saat gawai tutup tahun atau pesta panen padi, acara pernikahan, saat menangani perkara, dan acara lainnya. Selain itu, seni budaya tutur juga sering dimainkan pada waktu masyarakat sedang beraktivitas, seperti saat gotong royong bekerja di ladang, saat ibu-ibu sedang menganyam (besedau), menimang atau menidurkan anak, dan berbagai aktivitas masyarakat lainnya.
Penggunaan seni budaya tutur ini di dalam ruang dan interaksi sosial menggambarkan bahwa seni budaya tutur mempunyai peranan penting dalam menciptakan kehidupan yang harmonis antarsesama masyarakat. Kekuatan seni budaya tutur ini terletak pada kisah dan pesan yang disampaikannya, disamping senandung yang indah, dan suara yang merdu. Seni budaya tutur dapat mempromosikan perdamaian. Jika seni budaya tutur tersebut mengandung pesan-pesan perdamaian, berarti dapat pula memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga perdamaian di daerahnya.
Selain itu, seni budaya tutur seperti bejereh dan bebantah merupakan salah satu mekanisme penanganan konflik yang cukup baik diterapkan dalam masyarakat adat di Kelam Permai. Bejereh dan bebantah sudah sejak lama digunakan untuk menyelesaikan perkara yang terjadi di masyarakat. Bejereh merupakan senandung yang menjelaskan tentang asal mula perkara berdasarkan persepsi masing-masing pihak yang berkonflik. Sedangkan bebantah adalah senandung yang disampaikan untuk membantah atau menyangkal pendapat lawan, berdasarkan hukum adat yang dipatuhi.
Seni budaya tutur yang merupakan hiburan rakyat, juga bisa digunakan untuk mencairkan suasana apabila terjadi ketegangan pada suatu pertemuan. Penyampaian seni budaya tutur yang biasa dilakukan pada saat orang ramai berkumpul, juga dapat digunakan sebagai sarana untuk mempererat hubungan antarsesama masyarakat. Dengan demikian, seni budaya tutur dapat menjadi media promosi dalam mempersatukan masyarakat, serta membangun perdamaian di daerah.
Keberadaan Seni Budaya Tutur
Di Kelam Permai terdapat tiga sub suku Dayak, yakni Sub Suku Dayak Desa, Sub Suku Dayak Seberuang, dan Sub Suku Dayak Sebaruk. Ketiga Sub Suku Dayak ini masing-masing memiliki seni budaya tutur yang khas. Sub Suku Dayak Desa misalnya, terkenal dengan kesenian bekana dan bekanduk. Sub Suku Dayak Sebaruk terkenal dengan bejandih dan engkerasak. Sedangkan sub suku Dayak Seberuang terkenal dengan Besirang, Besasu, dan Bambai.
Pada ketiga sub suku Dayak tersebut untuk beberapa kesenian terdapat kesamaan bentuk. Misalnya kesemua sub suku Dayak itu sama-sama mempunyai seni budaya bepantun, dan dongeng atau cerita. Tetapi masing-masing sub suku punya istilah yang berbeda. Pada Sub Suku Dayak Desa untuk dongeng atau cerita menggunakan istilah bekanduk, sedangkan untuk Sub Suku Dayak Sebaruk punya sebutan betusut, dan pada Sub Suku Dayak Seberuang biasa disebut engkanduk.
Antar sub suku juga mempunyai kesenian yang sama. Antara Sub Suku Dayak Sebaruk dengan Seberuang misalnya, sama-sama biasa memainkan kesenian besasu. Sub suku dayak desa dengan Sebaruk sama-sama mengenal budaya tutur bedarak. Kesamaan ini menggambarkan diantara sub suku dayak tersebut punya hubungan yang erat satu dengan lainnya.
Seni budaya tutur saat ini dirasakan hampir mulai menghilang. Hanya orang-orang tertentu (kaum tua) saja yang masih dapat menguasai seni budaya tutur. Generasi muda enggan belajar seni budaya tutur yang ada. Kengganan generasi muda ini terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, dimana nuansa budaya dan adat istiadat sudah tidak sekental dahulu.
Penyelenggaraan seni budaya tutur di desa atau di kampung-kampung saat ini sudah berganti dengan nyanyian atau karaoke. Penggunaan seni budaya tutur dalam keseharian yang biasa jadi sarana interaksi pada saat berkumpul pun berganti dengan cerita sinetron yang sering muncul di televisi. Di sekolah, guru-guru hanya mengajarkan seni budaya nusantara secara umum, jarang sekali mengenalkan seni budaya lokal. Kondisi ini membuat generasi muda lebih terbiasa dengan budaya luar, yang kemudian meminggirkan seni budaya lokal.
Perubahan lainnya juga dapat dilihat dari kebanggaan memainkan seni budaya tutur yang ada. Dahulu kala orang-orang yang pandai memainkan bekana, bekanduk, dan bepantun akan disenangi oleh lawan jenis. Para pria biasanya memuji anak gadis dengan pujian yang terkandung di dalam syair bekana, atau ungkapan di dalam pantun. Ada kebanggaan tersendiri bagi mereka yang menguasai bekana, atau seni budaya tutur yang lainnya.
Kondisi dahulu tentu sudah jauh berubah seiring dengan perubahan jaman. Saat ini anak muda justru tidak berminat belajar, bahkan merasa malu memainkan seni budaya tutur lokal. Ada anggapan seni budaya yang ada itu adalah budaya orang primitif. Budaya yang modern adalah nyanyian dan musik layaknya yang ditampilkan di televisi atau pun yang didengarkan di radio.
Lembaga adat juga mengakui bahwa selama ini mereka belum melakukan upaya yang maksimal terhadap pelestarian seni budaya tutur yang ada. Namun ke depan para tetua adat beserta masyarakat berencana untuk membuat berbagai kegiatan berkaitan dengan upaya pelestarian seni budaya tutur ini. Upaya-upaya itu antaralain berupa menggali dan mempromosikan seni budaya tutur kepada generasi muda, membuat sanggar belajar seni budaya tutur, dan menyarankan kepada sekolah-sekolah untuk mengajarkan siswanya tentang seni budaya lokal.[]
Masyarakat adat Dayak di Kecamatan Kelam Permai, Sintang, Kalimantan Barat, memiliki kekayaan seni budaya tutur. Seni budaya tutur yang dimaksud adalah syair atau pun ceritera yang disampaikan kepada seseorang atau khalayak ramai. Rata-rata ucapan atau syair dari seni budaya tutur ini disampaikan dengan cara bersenandung, terkecuali untuk cerita atau dongeng yang biasanya dituturkan secara datar. Seni budaya tutur ini ada yang disampaikan secara sepihak, namun ada juga yang berbalas atau pun bersahut-sahutan.
Seni budaya tutur biasanya berupa kisah atau ungkapan tentang perihal tertentu, seperti kisah tentang asal mula kehidupan, keseharian, mitos, atau hanya berupa ungkapan yang berfungsi sebagai sindiran, pujian, nasehat, atau bahkan untuk memanjatkan doa. Oleh karenanya disamping untuk menghibur, seni budaya tutur ini juga ada yang bersifat semireligius.
Biasanya seni budaya tutur masyarakat dimainkan di suatu acara, seperti saat gawai tutup tahun atau pesta panen padi, acara pernikahan, saat menangani perkara, dan acara lainnya. Selain itu, seni budaya tutur juga sering dimainkan pada waktu masyarakat sedang beraktivitas, seperti saat gotong royong bekerja di ladang, saat ibu-ibu sedang menganyam (besedau), menimang atau menidurkan anak, dan berbagai aktivitas masyarakat lainnya.
Penggunaan seni budaya tutur ini di dalam ruang dan interaksi sosial menggambarkan bahwa seni budaya tutur mempunyai peranan penting dalam menciptakan kehidupan yang harmonis antarsesama masyarakat. Kekuatan seni budaya tutur ini terletak pada kisah dan pesan yang disampaikannya, disamping senandung yang indah, dan suara yang merdu. Seni budaya tutur dapat mempromosikan perdamaian. Jika seni budaya tutur tersebut mengandung pesan-pesan perdamaian, berarti dapat pula memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga perdamaian di daerahnya.
Selain itu, seni budaya tutur seperti bejereh dan bebantah merupakan salah satu mekanisme penanganan konflik yang cukup baik diterapkan dalam masyarakat adat di Kelam Permai. Bejereh dan bebantah sudah sejak lama digunakan untuk menyelesaikan perkara yang terjadi di masyarakat. Bejereh merupakan senandung yang menjelaskan tentang asal mula perkara berdasarkan persepsi masing-masing pihak yang berkonflik. Sedangkan bebantah adalah senandung yang disampaikan untuk membantah atau menyangkal pendapat lawan, berdasarkan hukum adat yang dipatuhi.
Seni budaya tutur yang merupakan hiburan rakyat, juga bisa digunakan untuk mencairkan suasana apabila terjadi ketegangan pada suatu pertemuan. Penyampaian seni budaya tutur yang biasa dilakukan pada saat orang ramai berkumpul, juga dapat digunakan sebagai sarana untuk mempererat hubungan antarsesama masyarakat. Dengan demikian, seni budaya tutur dapat menjadi media promosi dalam mempersatukan masyarakat, serta membangun perdamaian di daerah.
Keberadaan Seni Budaya Tutur
Di Kelam Permai terdapat tiga sub suku Dayak, yakni Sub Suku Dayak Desa, Sub Suku Dayak Seberuang, dan Sub Suku Dayak Sebaruk. Ketiga Sub Suku Dayak ini masing-masing memiliki seni budaya tutur yang khas. Sub Suku Dayak Desa misalnya, terkenal dengan kesenian bekana dan bekanduk. Sub Suku Dayak Sebaruk terkenal dengan bejandih dan engkerasak. Sedangkan sub suku Dayak Seberuang terkenal dengan Besirang, Besasu, dan Bambai.
Pada ketiga sub suku Dayak tersebut untuk beberapa kesenian terdapat kesamaan bentuk. Misalnya kesemua sub suku Dayak itu sama-sama mempunyai seni budaya bepantun, dan dongeng atau cerita. Tetapi masing-masing sub suku punya istilah yang berbeda. Pada Sub Suku Dayak Desa untuk dongeng atau cerita menggunakan istilah bekanduk, sedangkan untuk Sub Suku Dayak Sebaruk punya sebutan betusut, dan pada Sub Suku Dayak Seberuang biasa disebut engkanduk.
Antar sub suku juga mempunyai kesenian yang sama. Antara Sub Suku Dayak Sebaruk dengan Seberuang misalnya, sama-sama biasa memainkan kesenian besasu. Sub suku dayak desa dengan Sebaruk sama-sama mengenal budaya tutur bedarak. Kesamaan ini menggambarkan diantara sub suku dayak tersebut punya hubungan yang erat satu dengan lainnya.
Seni budaya tutur saat ini dirasakan hampir mulai menghilang. Hanya orang-orang tertentu (kaum tua) saja yang masih dapat menguasai seni budaya tutur. Generasi muda enggan belajar seni budaya tutur yang ada. Kengganan generasi muda ini terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, dimana nuansa budaya dan adat istiadat sudah tidak sekental dahulu.
Penyelenggaraan seni budaya tutur di desa atau di kampung-kampung saat ini sudah berganti dengan nyanyian atau karaoke. Penggunaan seni budaya tutur dalam keseharian yang biasa jadi sarana interaksi pada saat berkumpul pun berganti dengan cerita sinetron yang sering muncul di televisi. Di sekolah, guru-guru hanya mengajarkan seni budaya nusantara secara umum, jarang sekali mengenalkan seni budaya lokal. Kondisi ini membuat generasi muda lebih terbiasa dengan budaya luar, yang kemudian meminggirkan seni budaya lokal.
Perubahan lainnya juga dapat dilihat dari kebanggaan memainkan seni budaya tutur yang ada. Dahulu kala orang-orang yang pandai memainkan bekana, bekanduk, dan bepantun akan disenangi oleh lawan jenis. Para pria biasanya memuji anak gadis dengan pujian yang terkandung di dalam syair bekana, atau ungkapan di dalam pantun. Ada kebanggaan tersendiri bagi mereka yang menguasai bekana, atau seni budaya tutur yang lainnya.
Kondisi dahulu tentu sudah jauh berubah seiring dengan perubahan jaman. Saat ini anak muda justru tidak berminat belajar, bahkan merasa malu memainkan seni budaya tutur lokal. Ada anggapan seni budaya yang ada itu adalah budaya orang primitif. Budaya yang modern adalah nyanyian dan musik layaknya yang ditampilkan di televisi atau pun yang didengarkan di radio.
Lembaga adat juga mengakui bahwa selama ini mereka belum melakukan upaya yang maksimal terhadap pelestarian seni budaya tutur yang ada. Namun ke depan para tetua adat beserta masyarakat berencana untuk membuat berbagai kegiatan berkaitan dengan upaya pelestarian seni budaya tutur ini. Upaya-upaya itu antaralain berupa menggali dan mempromosikan seni budaya tutur kepada generasi muda, membuat sanggar belajar seni budaya tutur, dan menyarankan kepada sekolah-sekolah untuk mengajarkan siswanya tentang seni budaya lokal.[]
Mengingat Insiden Kampus Unas
Oleh Dedy Armayadi
Maftuh Fauzi (25), mahasiswa Akademi Bahasa Asing Universitas Nasional, yang menjadi korban insiden di Unas Jakarta, Jum’at (20/6) akhirnya meninggal dunia. Sebelum mengembuskan nafas terakhirnya almarhum sempat ditahan Kepolisian Resor Jakarta Selatan selama delapan hari, lalu jatuh sakit dan dirawat selama tiga minggu di rumah sakit.
Mendengar kabar ini sontak keluarga, civitas akademika Unas, teman-teman seperjuangan berduka. Pun ada perasaan campur aduk. Sedih, karena satu lagi teman menjadi korban kekerasan koersif negara. Geram, melihat polisi yang menyerang mahasiswa ke kampus Unas secara membabi buta.
Sekadar mengingatkan, pada 23 Mei 2008 lalu, sebelum dan beberapa saat setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, mahasiswa Unas berdemonstrasi sambil membakar ban dan memblokade jalan. Tak lama setelah itu terjadi bentrok antara mahasiswa dengan aparat kepolisian. Pagi keesokkan harinya tiba-tiba kampus Unas diserang aparat kepolisian (lebih lengkap lihat kronologis insiden Unas di http://www.kontras.org/)
Saat diserang mahasiswa-mahasiswi dipentung, ditendang, digebuki, dan diplonco. Polisi memperlakukan mahasiswa mirip tawanan perang. Mahasiswa dikumpulkan di lapangan tanpa mengenakan baju, berjongkok, lalu diarak menuju ke truk tronton. Saat itu tak hanya mahasiswa-mahasiswi, wartawan juga dipukuli. Ruang dan gedung kampus diobrak-abrik, termasuk perusakan 67 motor dan tiga mobil di parkiran. Sepertinya polisi hari itu benar-benar ngamuk. Pihak rektorat memperkirakan kerugian sebesar Rp 600 juta. Saja luar biasa!
Selepas kejadian itu lalu muncul perdebatan di media massa. Polisi bilang penyerangan sudah sesuai prosedur hukum, sedang mahasiswa menuding serangan itu melanggar HAM. Perdebatan ini sempat menghangat beberapa hari di media massa, namun berhenti dengan sendirinya setelah kekerasan lain, penyerangan FPI terhadap AKKBB di monas tiba-tiba mendominasi pemberitaan media massa.
Berita insiden Unas muncul kembali setelah Maftuh meninggal. Tidak terima kematian temannya, mahasiswa Unas berdemonstrasi kembali. Begitu pun aksi solidaritas mahasiswa kampus lain dari berbagai daerah. Mahasiswa menuntut pihak kepolisian bertanggung jawab atas penyerangan ke Kampus Unas, dan pemukulan kepada mahasiswa yang menyebabkan kematian. Sayangnya, hasil visum Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) menerangkan bahwa riwayat medis Maftuh positif terpapar virus HIV. Secara hukum hasil visum ini menguntungkan pihak kepolisian.
Akan tetapi Komnas HAM yang cukup konsen dengan kasus ini masih tetap percaya bahwa Maftuh meninggal karena luka bekas penganiayaan ketika polisi menyerang masuk Kampus Unas. Komisioner Komnas HAM Yosep Adiprasetyo menjelaskan itu berdasarkan pada keterangan Maftuh ketika diwawancarai oleh tim Komnas HAM serta rekam medis dari rumah sakit UKI. Mahasiswa Unas dan keluarga Maftuh pun membantah hasil visum RSPP tersebut.
Menyimak kasus kekerasan aparat kepolisian terhadap mahasiswa di kampus Unas ini ibarat memutar ulang kaset lama. Belum lepas dari trauma tragedi semanggi, trisakti, dan berbagai kasus kekerasan aparat kepolisian lainnya, sekarang kita dihadapkan pada insiden Unas. Polisi sebagai alat negara menggunakan kekerasan untuk mengatasi demonstrasi mahasiswa. Insiden Unas tentu kian menambah deret panjang korban jiwa penyerangan aparat kepolisian. Rasanya sakit melihat tragedi seperti ini kembali berulang.
Insiden Unas adalah salah satu bukti bahwa kekerasan negara tidak akan pernah berhenti selama penguasa yang memerintah resisten terhadap perlawanan. Pemerintah yang menaikkan harga BBM sebetulnya dipenuhi rasa takut yang amat sangat. Apalagi ini sudah ketiga kalinya. Perlawanan mahasiswa yang massif boleh jadi akan mendelegitimasi, bahkan menjatuhkan pemerintah. Sebab itu, pemerintah menggunakan alat negara untuk meredam perlawanan.
Penyerangan aparat kepolisian adalah salah satu bentuk ancaman kepada mahasiswa yang lain supaya jangan main-main dengan pemerintah. Sebagaimana yang diungkapkan Weber (1958), ancaman adalah bentuk kekerasan yang merupakan unsur penting kekuatan (power), kemampuan untuk mewujudkan keinginan sekalipun menghadapi keinginan yang berlawanan. Boleh jadi insiden Unas tak ubahnya ketika Spartacus dan budak-budak revolusionernya akhirnya kalah dan ditangkap orang Romawi, mereka disalibkan di pos-pos sepanjang jalan utama sehingga budak lain bisa melihat deretan panjang tubuh terpotong-potong dan memotivasi mereka untuk tidak melakukan revolusi.
Namun yang menarik penyerangan mahasiswa kali ini dibungkus dengan kemasan yang mengundang simpatik. Pertama, mahasiswa dituding mengganggu ketertiban, meresahkan masyarakat dengan mengadakan aksi pembakaran ban dan memblokade jalan. Dengan begitu aparat kepolisian datang sebagai pahlawan. Kedua, polisi mengarahkan kekerasan mereka kepada kasus kriminal dengan menunjukkan ditemukannya 179 gram ganja kering di dalam kampus. Kedua alasan ini kemudian agaknya membelokkan kasus penyerangan, bahkan jadi pembenar aparat kepolisian mengadakan penyerangan. Dengan kata lain, aparat kepolisian boleh menyerang kampus, boleh menggebuki, mementungi, menendang mahasiswa, dan boleh mengobrak-abrik kampus guna menertibkan demonstrasi mahasiswa.
Perlawanan mahasiswa kepada pemerintah yang anti rakyat dalam bentuk demonstrasi adalah kewajaran. Terlebih jika wakil rakyat, yang mestinya menyalurkan aspirasi rakyat tidak menjalankan tugasnya. Demonstrasi mahasiswa Unas ketika itu merupakan ekspresi kekecewaan terhadap kebijakan anarkis pemerintah yang menaikkan harga BBM. Mahasiswa kecewa, dan bahasa kekecewaan itu disimbolkan ke dalam bentuk pembakaran ban dan memblokade jalan. Tindakan mahasiswa ini dituding anarkis. Sebetulnya mana sih yang lebih anarkis, kebijakan kenaikan harga BBM sampai tiga kali dalam tiga tahun atau pembakaran ban dan memblokade jalan sebagai ekspresi kekecewaan?
Sekarang sering muncul pendapat; kalian boleh demo, tapi jangan anarkis. Namun jarang kita dengar ungkapan; pemerintah boleh mengeluarkan kebijakan, tapi jangan yang membebani rakyat. Kalau pemerintah tetap mengeluarkan kebijakan yang membebani rakyat, sementara wakil rakyat hanya bisa membeo, sesuai sifat gerakannya yaitu korektif (mengkoreksi kebijakan pemerintah) maka mahasiswa tentu akan tetap melawan. Apalagi pemerintah sekarang tak lagi dapat dipercaya mengatasi persoalan bangsa, dan bahkan sudah kadung anti rakyat. Saya sependapat dengan mendiang Pramoedya Ananta Toer, untuk memperbaiki kondisi pemerintahan dan negara sekarang ini angkatan muda Indonesia tidak cukup hanya berdemonstrasi, tapi harusnya melakukan revolusi total.
Insiden Unas adalah pelajaran berharga bagi mahasiswa. Pemerintah tampaknya sadar siapa lawannya ketika kebijakan yang dikeluarkannya mencederai rasa keadilan rakyat. Penyerangan ke kampus jadi salah bentuk upaya pemerintah meredam perlawanan mahasiswa. Lebih cerdik lagi ketika pemerintah mempromosikan cara mahasiswa berdemonstrasi yang menjurus ke anarkisme. Efeknya, pemerintah yang mengeluarkan kebijakan yang membuat rakyat kian menderita, tapi mahasiswa yang mau membela rakyat justru tak disukai. Ironis bukan? []
Maftuh Fauzi (25), mahasiswa Akademi Bahasa Asing Universitas Nasional, yang menjadi korban insiden di Unas Jakarta, Jum’at (20/6) akhirnya meninggal dunia. Sebelum mengembuskan nafas terakhirnya almarhum sempat ditahan Kepolisian Resor Jakarta Selatan selama delapan hari, lalu jatuh sakit dan dirawat selama tiga minggu di rumah sakit.
Mendengar kabar ini sontak keluarga, civitas akademika Unas, teman-teman seperjuangan berduka. Pun ada perasaan campur aduk. Sedih, karena satu lagi teman menjadi korban kekerasan koersif negara. Geram, melihat polisi yang menyerang mahasiswa ke kampus Unas secara membabi buta.
Sekadar mengingatkan, pada 23 Mei 2008 lalu, sebelum dan beberapa saat setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, mahasiswa Unas berdemonstrasi sambil membakar ban dan memblokade jalan. Tak lama setelah itu terjadi bentrok antara mahasiswa dengan aparat kepolisian. Pagi keesokkan harinya tiba-tiba kampus Unas diserang aparat kepolisian (lebih lengkap lihat kronologis insiden Unas di http://www.kontras.org/)
Saat diserang mahasiswa-mahasiswi dipentung, ditendang, digebuki, dan diplonco. Polisi memperlakukan mahasiswa mirip tawanan perang. Mahasiswa dikumpulkan di lapangan tanpa mengenakan baju, berjongkok, lalu diarak menuju ke truk tronton. Saat itu tak hanya mahasiswa-mahasiswi, wartawan juga dipukuli. Ruang dan gedung kampus diobrak-abrik, termasuk perusakan 67 motor dan tiga mobil di parkiran. Sepertinya polisi hari itu benar-benar ngamuk. Pihak rektorat memperkirakan kerugian sebesar Rp 600 juta. Saja luar biasa!
Selepas kejadian itu lalu muncul perdebatan di media massa. Polisi bilang penyerangan sudah sesuai prosedur hukum, sedang mahasiswa menuding serangan itu melanggar HAM. Perdebatan ini sempat menghangat beberapa hari di media massa, namun berhenti dengan sendirinya setelah kekerasan lain, penyerangan FPI terhadap AKKBB di monas tiba-tiba mendominasi pemberitaan media massa.
Berita insiden Unas muncul kembali setelah Maftuh meninggal. Tidak terima kematian temannya, mahasiswa Unas berdemonstrasi kembali. Begitu pun aksi solidaritas mahasiswa kampus lain dari berbagai daerah. Mahasiswa menuntut pihak kepolisian bertanggung jawab atas penyerangan ke Kampus Unas, dan pemukulan kepada mahasiswa yang menyebabkan kematian. Sayangnya, hasil visum Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) menerangkan bahwa riwayat medis Maftuh positif terpapar virus HIV. Secara hukum hasil visum ini menguntungkan pihak kepolisian.
Akan tetapi Komnas HAM yang cukup konsen dengan kasus ini masih tetap percaya bahwa Maftuh meninggal karena luka bekas penganiayaan ketika polisi menyerang masuk Kampus Unas. Komisioner Komnas HAM Yosep Adiprasetyo menjelaskan itu berdasarkan pada keterangan Maftuh ketika diwawancarai oleh tim Komnas HAM serta rekam medis dari rumah sakit UKI. Mahasiswa Unas dan keluarga Maftuh pun membantah hasil visum RSPP tersebut.
Menyimak kasus kekerasan aparat kepolisian terhadap mahasiswa di kampus Unas ini ibarat memutar ulang kaset lama. Belum lepas dari trauma tragedi semanggi, trisakti, dan berbagai kasus kekerasan aparat kepolisian lainnya, sekarang kita dihadapkan pada insiden Unas. Polisi sebagai alat negara menggunakan kekerasan untuk mengatasi demonstrasi mahasiswa. Insiden Unas tentu kian menambah deret panjang korban jiwa penyerangan aparat kepolisian. Rasanya sakit melihat tragedi seperti ini kembali berulang.
Insiden Unas adalah salah satu bukti bahwa kekerasan negara tidak akan pernah berhenti selama penguasa yang memerintah resisten terhadap perlawanan. Pemerintah yang menaikkan harga BBM sebetulnya dipenuhi rasa takut yang amat sangat. Apalagi ini sudah ketiga kalinya. Perlawanan mahasiswa yang massif boleh jadi akan mendelegitimasi, bahkan menjatuhkan pemerintah. Sebab itu, pemerintah menggunakan alat negara untuk meredam perlawanan.
Penyerangan aparat kepolisian adalah salah satu bentuk ancaman kepada mahasiswa yang lain supaya jangan main-main dengan pemerintah. Sebagaimana yang diungkapkan Weber (1958), ancaman adalah bentuk kekerasan yang merupakan unsur penting kekuatan (power), kemampuan untuk mewujudkan keinginan sekalipun menghadapi keinginan yang berlawanan. Boleh jadi insiden Unas tak ubahnya ketika Spartacus dan budak-budak revolusionernya akhirnya kalah dan ditangkap orang Romawi, mereka disalibkan di pos-pos sepanjang jalan utama sehingga budak lain bisa melihat deretan panjang tubuh terpotong-potong dan memotivasi mereka untuk tidak melakukan revolusi.
Namun yang menarik penyerangan mahasiswa kali ini dibungkus dengan kemasan yang mengundang simpatik. Pertama, mahasiswa dituding mengganggu ketertiban, meresahkan masyarakat dengan mengadakan aksi pembakaran ban dan memblokade jalan. Dengan begitu aparat kepolisian datang sebagai pahlawan. Kedua, polisi mengarahkan kekerasan mereka kepada kasus kriminal dengan menunjukkan ditemukannya 179 gram ganja kering di dalam kampus. Kedua alasan ini kemudian agaknya membelokkan kasus penyerangan, bahkan jadi pembenar aparat kepolisian mengadakan penyerangan. Dengan kata lain, aparat kepolisian boleh menyerang kampus, boleh menggebuki, mementungi, menendang mahasiswa, dan boleh mengobrak-abrik kampus guna menertibkan demonstrasi mahasiswa.
Perlawanan mahasiswa kepada pemerintah yang anti rakyat dalam bentuk demonstrasi adalah kewajaran. Terlebih jika wakil rakyat, yang mestinya menyalurkan aspirasi rakyat tidak menjalankan tugasnya. Demonstrasi mahasiswa Unas ketika itu merupakan ekspresi kekecewaan terhadap kebijakan anarkis pemerintah yang menaikkan harga BBM. Mahasiswa kecewa, dan bahasa kekecewaan itu disimbolkan ke dalam bentuk pembakaran ban dan memblokade jalan. Tindakan mahasiswa ini dituding anarkis. Sebetulnya mana sih yang lebih anarkis, kebijakan kenaikan harga BBM sampai tiga kali dalam tiga tahun atau pembakaran ban dan memblokade jalan sebagai ekspresi kekecewaan?
Sekarang sering muncul pendapat; kalian boleh demo, tapi jangan anarkis. Namun jarang kita dengar ungkapan; pemerintah boleh mengeluarkan kebijakan, tapi jangan yang membebani rakyat. Kalau pemerintah tetap mengeluarkan kebijakan yang membebani rakyat, sementara wakil rakyat hanya bisa membeo, sesuai sifat gerakannya yaitu korektif (mengkoreksi kebijakan pemerintah) maka mahasiswa tentu akan tetap melawan. Apalagi pemerintah sekarang tak lagi dapat dipercaya mengatasi persoalan bangsa, dan bahkan sudah kadung anti rakyat. Saya sependapat dengan mendiang Pramoedya Ananta Toer, untuk memperbaiki kondisi pemerintahan dan negara sekarang ini angkatan muda Indonesia tidak cukup hanya berdemonstrasi, tapi harusnya melakukan revolusi total.
Insiden Unas adalah pelajaran berharga bagi mahasiswa. Pemerintah tampaknya sadar siapa lawannya ketika kebijakan yang dikeluarkannya mencederai rasa keadilan rakyat. Penyerangan ke kampus jadi salah bentuk upaya pemerintah meredam perlawanan mahasiswa. Lebih cerdik lagi ketika pemerintah mempromosikan cara mahasiswa berdemonstrasi yang menjurus ke anarkisme. Efeknya, pemerintah yang mengeluarkan kebijakan yang membuat rakyat kian menderita, tapi mahasiswa yang mau membela rakyat justru tak disukai. Ironis bukan? []
Meneladani Kepemimpinan Basuki
Oleh Dedy Armayadi
Hati saya membuncah ketika membaca sebuah artikel yang bercerita tentang Bupati Belitung Timur, Basuki Tjahaja Purnama.
Di bawah kepemimpinan Basuki, pemerintah Belitung Timur membebaskan biaya pendidikan sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas negeri. Belasan siswa berprestasi dikirim melanjutkan belajar gratis ke Universitas Trisakti, Jakarta dan Universitas Bangka-Belitung. Setiap siswa itu disubsidi Rp 1 juta per bulan untuk yang di Jakarta, dan separuhnya untuk Bangka.
Dia juga menggratiskan pengobatan warganya, dari biaya dokter, obat, rumah sakit, hingga ambulans. Menurutnya pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi.
Guna menjalankan kedua programnya itu, Bupati ini rela memotong biaya perjalanan dinasnya, dari Rp 1 miliar per tahun menjadi seperlimanya. Pos yang sama untuk kepala dinas dikorting. Untuk perjalanan ke Jakarta mereka mendapatkan tiket kapal, bukan pesawat.
Selain pendidikan dan kesehatan, yang mendapat porsi 40 persen anggaran, Bupati menyediakan dana untuk warga yang meninggal. Dengan syarat membuat akta kematian, keluarga yang ditinggalkan mendapat santunan Rp. 500 ribu. Subsidi pembangunan rumah pun disediakan untuk keluarga tak mampu.
Menurut para pegawai di wilayah itu, Bupati cukup keras menegakkan disiplin. Mereka yang ketahuan kongkow pada jam kerja langsung mendapat sanksi, ditahan kenaikkan pangkatnya. Di sisi lain, Bupati memberi honor untuk para ketua RT Rp 300 ribu, Ketua Dusun Rp 640 ribu, dan Kepala Desa 2 juta per bulan.
Kisah Basuki ini saya dapatkan dari Majalah Tempo, Edisi Khusus Tokoh Pilihan, (25-31 /12/ 2006). Pria yang bernama asli Zhong Wan Xie ini merupakan satu tokoh pilihan Majalah Tempo sebagai “10 Yang Mengubah Indonesia” bersama Tri Mumpuni, Nelson Tansu, Warsito, Septi Peni Wulandari, Erna Ismail Choirun Nisa, Usman Hamid, Ade Purnama, Hendi Setiono, dan Yoshi Mardoni Adisufana.
Saya terkesan dengan kepemimpinan Basuki. Bagi saya, ia merupakan satu dari segelintir pemimpin di negeri ini yang punya sikap: pemimpin harus memihak rakyat kecil dan miskin. Meski seorang Bupati, ia tahu kalau kekuasaan bukanlah untuk mengabadikan kekayaan, tapi kekuasaan untuk melayani. Ia mungkin termasuk pemimpin yang meyakini kalau tugas memimpin adalah mengabdi. Tidak salah bila Majalah Tempo memilihnya.
Berkaca dari apa yang Basuki lakukan, lalu saya membayangkan pemimpin-pemimpin besar dunia, pemimpin yang mampu membawa arus progresif pembaharuan sosial. Memang, Basuki bukanlah seorang Presiden, namun saya seolah menemukan sosok Fidel Castro dari Kuba yang menetapkan pendidikan gratis untuk semua jenjang buat penduduknya. Saya teringat juga Hugo Chaves dari Venezuela yang punya kebijakan kesehatan dengan meminta satu dokter bertanggung jawab pada beberapa keluarga miskin.
Basuki memang sosok lain dari banyak pemimpin di Indonesia. Ia mampu menyirami kegersangan kepemimpinan di negeri ini, yang amat jarang berpihak kepada rakyat kecil dan miskin. Ketika pemimpin lain gemar melakukan penggusuran atas nama kebersihan kota, ia justru menyediakan subsidi pembangunan rumah untuk keluarga tak mampu. Saat anggota Dewan dan sebagian pejabat ramai-ramai menaikkan gaji dan gemar study banding, ia malah memotong biaya perjalanan dinasnya, dari Rp 1 miliar per tahun menjadi seperlimanya. Pada waktu banyak pemimpin menyia-nyiakan korban-korban bencana alam, ia justru menyediakan dana untuk warga yang meninggal.
Mungkin Basuki tahu, jawaban ideologis tak lagi memadai untuk memberikan kerangka tugas-tugas Bupati yang ia sandang. Yang jelas ia tahu untuk memakmurkan rakyat tidak bisa melalui jalan pembangunan yang lazim. Basuki menindak tegas bawahannya yang tidak disiplin, namun memberikan kesejahteraan kepada mereka yang menjalankan tugas. Bupati mana yang berani memberi honor Kepala Desa 2 juta rupiah, melebihi gaji pegawai negeri umumnya?
Saya tidak bermaksud melebih-lebihkan kepemimpinan Basuki. Dibalik kelebihannya, tentu ia punya banyak kekurangan. Namun, kepemimpinan progresif Basuki itu telah membuat saya tetap optimis, ternyata bangsa ini masih memiliki pemimpin yang mencintai dan berbuat tulus untuk rakyatnya. Kepemimpinan Basuki itu kembali mengingatkan saya tentang sosok pemimpin di zaman perjuangan kemerdekaan yang amat dipanuti dan disegani, bukan hanya bangsanya sendiri, tetapi juga bangsa lain. Sudah lama bangsa ini kehilangan pemimpin yang berani, antusias dan rela berkorban untuk rakyat.
Dulu, bangsa ini punya para pemimpin yang cakap dan berani seperti Soekarno, Tan Malaka, Moh.Hatta, Sjahrir, Haji Agus Salim, Soewardi Soerjaningrat. Mereka merupakan satu dari sekian banyak pemimpin yang punya dedikasi untuk kesejahteraan rakyat dan mengajarkan tentang banyak hal.
Soekarno dengan kobaran revolusinya telah mendidik bangsa ini untuk menjadi nasional yang kuat dan mandiri. Soekarno sejak awal sangat meyakini bagaimana imprealisme modern yang terwujud dalam badan-badan keuangan international sesungguhnya punya misi menjadi penjajah. Begitu pula semangat Tan Malaka yang menuntut kemandirian bangsa dan mengajak untuk menggunakan rasionalitas.
Sejak dulu Soewardi yang kemudian namanya Ki Hajar Dewantara menyerukan pendidikan bukan sekadar mencari pekerjaan, meraih nilai tapi mengenalkan jati diri sebagai penduduk yang merdeka dan punya martabat. Sjahrir mengenalkan tentang integritas seorang negarawan. Baginya berpolitik bukan sekadar cara untuk mempraktekkan secara pragmatis kekuasaan, melainkan suatu etika dimana suatu tujuan yang dipilih haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Di sisi lain, para pemimpin-pemimpin itu rela menderita demi rakyatnya. Mereka menganut memimpin adalah jalan derita. Pelajaran itu dapat dipetik dari Moh. Hatta yang hidup sangat sederhana, bahkan konon sampai tak mampu membayar listrik negara yang makin mahal. Juga, Haji Agus Salim yang masih mengontrak rumah meski berkali-kali jadi menteri. Bandingkan dengan pemimpin kita sekarang, adakah yang siap hidup menderita?
Sebagian besar pakar menyebut, krisis multidimensi yang dialami bangsa ini disebabkan krisis kepemimpinan. Meski telah sepuluh tahun mereformasi diri, hasilnya justru mengerikan. Harga-harga barang melambung tinggi, kemiskinan kian meningkat, pengangguraan tak terentaskan, busung lapar di mana-mana, flu burung tak teratasi, rentetan bencana alam menghantam, tingkat kecelakaan transportasi udara, air dan darat kian tinggi, korupsi merajalela, acapkali dilanda konflik dan kekerasan, listrik byar-pet, krisis air bersih, dan masih banyak lagi sederet daftar panjang luka bangsa ini yang belum bisa terobati.
Untuk mengobati itu tampaknya bangsa ini perlu pemimpin alternatif seperti Basuki. Kepemimpinannya yang berpihak kepada rakyat memberikan setitik harapan. Ia telah membuktikan praktek pembaharuan sosial yang nyata dan menyentuh. []
Hati saya membuncah ketika membaca sebuah artikel yang bercerita tentang Bupati Belitung Timur, Basuki Tjahaja Purnama.
Di bawah kepemimpinan Basuki, pemerintah Belitung Timur membebaskan biaya pendidikan sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas negeri. Belasan siswa berprestasi dikirim melanjutkan belajar gratis ke Universitas Trisakti, Jakarta dan Universitas Bangka-Belitung. Setiap siswa itu disubsidi Rp 1 juta per bulan untuk yang di Jakarta, dan separuhnya untuk Bangka.
Dia juga menggratiskan pengobatan warganya, dari biaya dokter, obat, rumah sakit, hingga ambulans. Menurutnya pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi.
Guna menjalankan kedua programnya itu, Bupati ini rela memotong biaya perjalanan dinasnya, dari Rp 1 miliar per tahun menjadi seperlimanya. Pos yang sama untuk kepala dinas dikorting. Untuk perjalanan ke Jakarta mereka mendapatkan tiket kapal, bukan pesawat.
Selain pendidikan dan kesehatan, yang mendapat porsi 40 persen anggaran, Bupati menyediakan dana untuk warga yang meninggal. Dengan syarat membuat akta kematian, keluarga yang ditinggalkan mendapat santunan Rp. 500 ribu. Subsidi pembangunan rumah pun disediakan untuk keluarga tak mampu.
Menurut para pegawai di wilayah itu, Bupati cukup keras menegakkan disiplin. Mereka yang ketahuan kongkow pada jam kerja langsung mendapat sanksi, ditahan kenaikkan pangkatnya. Di sisi lain, Bupati memberi honor untuk para ketua RT Rp 300 ribu, Ketua Dusun Rp 640 ribu, dan Kepala Desa 2 juta per bulan.
Kisah Basuki ini saya dapatkan dari Majalah Tempo, Edisi Khusus Tokoh Pilihan, (25-31 /12/ 2006). Pria yang bernama asli Zhong Wan Xie ini merupakan satu tokoh pilihan Majalah Tempo sebagai “10 Yang Mengubah Indonesia” bersama Tri Mumpuni, Nelson Tansu, Warsito, Septi Peni Wulandari, Erna Ismail Choirun Nisa, Usman Hamid, Ade Purnama, Hendi Setiono, dan Yoshi Mardoni Adisufana.
Saya terkesan dengan kepemimpinan Basuki. Bagi saya, ia merupakan satu dari segelintir pemimpin di negeri ini yang punya sikap: pemimpin harus memihak rakyat kecil dan miskin. Meski seorang Bupati, ia tahu kalau kekuasaan bukanlah untuk mengabadikan kekayaan, tapi kekuasaan untuk melayani. Ia mungkin termasuk pemimpin yang meyakini kalau tugas memimpin adalah mengabdi. Tidak salah bila Majalah Tempo memilihnya.
Berkaca dari apa yang Basuki lakukan, lalu saya membayangkan pemimpin-pemimpin besar dunia, pemimpin yang mampu membawa arus progresif pembaharuan sosial. Memang, Basuki bukanlah seorang Presiden, namun saya seolah menemukan sosok Fidel Castro dari Kuba yang menetapkan pendidikan gratis untuk semua jenjang buat penduduknya. Saya teringat juga Hugo Chaves dari Venezuela yang punya kebijakan kesehatan dengan meminta satu dokter bertanggung jawab pada beberapa keluarga miskin.
Basuki memang sosok lain dari banyak pemimpin di Indonesia. Ia mampu menyirami kegersangan kepemimpinan di negeri ini, yang amat jarang berpihak kepada rakyat kecil dan miskin. Ketika pemimpin lain gemar melakukan penggusuran atas nama kebersihan kota, ia justru menyediakan subsidi pembangunan rumah untuk keluarga tak mampu. Saat anggota Dewan dan sebagian pejabat ramai-ramai menaikkan gaji dan gemar study banding, ia malah memotong biaya perjalanan dinasnya, dari Rp 1 miliar per tahun menjadi seperlimanya. Pada waktu banyak pemimpin menyia-nyiakan korban-korban bencana alam, ia justru menyediakan dana untuk warga yang meninggal.
Mungkin Basuki tahu, jawaban ideologis tak lagi memadai untuk memberikan kerangka tugas-tugas Bupati yang ia sandang. Yang jelas ia tahu untuk memakmurkan rakyat tidak bisa melalui jalan pembangunan yang lazim. Basuki menindak tegas bawahannya yang tidak disiplin, namun memberikan kesejahteraan kepada mereka yang menjalankan tugas. Bupati mana yang berani memberi honor Kepala Desa 2 juta rupiah, melebihi gaji pegawai negeri umumnya?
Saya tidak bermaksud melebih-lebihkan kepemimpinan Basuki. Dibalik kelebihannya, tentu ia punya banyak kekurangan. Namun, kepemimpinan progresif Basuki itu telah membuat saya tetap optimis, ternyata bangsa ini masih memiliki pemimpin yang mencintai dan berbuat tulus untuk rakyatnya. Kepemimpinan Basuki itu kembali mengingatkan saya tentang sosok pemimpin di zaman perjuangan kemerdekaan yang amat dipanuti dan disegani, bukan hanya bangsanya sendiri, tetapi juga bangsa lain. Sudah lama bangsa ini kehilangan pemimpin yang berani, antusias dan rela berkorban untuk rakyat.
Dulu, bangsa ini punya para pemimpin yang cakap dan berani seperti Soekarno, Tan Malaka, Moh.Hatta, Sjahrir, Haji Agus Salim, Soewardi Soerjaningrat. Mereka merupakan satu dari sekian banyak pemimpin yang punya dedikasi untuk kesejahteraan rakyat dan mengajarkan tentang banyak hal.
Soekarno dengan kobaran revolusinya telah mendidik bangsa ini untuk menjadi nasional yang kuat dan mandiri. Soekarno sejak awal sangat meyakini bagaimana imprealisme modern yang terwujud dalam badan-badan keuangan international sesungguhnya punya misi menjadi penjajah. Begitu pula semangat Tan Malaka yang menuntut kemandirian bangsa dan mengajak untuk menggunakan rasionalitas.
Sejak dulu Soewardi yang kemudian namanya Ki Hajar Dewantara menyerukan pendidikan bukan sekadar mencari pekerjaan, meraih nilai tapi mengenalkan jati diri sebagai penduduk yang merdeka dan punya martabat. Sjahrir mengenalkan tentang integritas seorang negarawan. Baginya berpolitik bukan sekadar cara untuk mempraktekkan secara pragmatis kekuasaan, melainkan suatu etika dimana suatu tujuan yang dipilih haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Di sisi lain, para pemimpin-pemimpin itu rela menderita demi rakyatnya. Mereka menganut memimpin adalah jalan derita. Pelajaran itu dapat dipetik dari Moh. Hatta yang hidup sangat sederhana, bahkan konon sampai tak mampu membayar listrik negara yang makin mahal. Juga, Haji Agus Salim yang masih mengontrak rumah meski berkali-kali jadi menteri. Bandingkan dengan pemimpin kita sekarang, adakah yang siap hidup menderita?
Sebagian besar pakar menyebut, krisis multidimensi yang dialami bangsa ini disebabkan krisis kepemimpinan. Meski telah sepuluh tahun mereformasi diri, hasilnya justru mengerikan. Harga-harga barang melambung tinggi, kemiskinan kian meningkat, pengangguraan tak terentaskan, busung lapar di mana-mana, flu burung tak teratasi, rentetan bencana alam menghantam, tingkat kecelakaan transportasi udara, air dan darat kian tinggi, korupsi merajalela, acapkali dilanda konflik dan kekerasan, listrik byar-pet, krisis air bersih, dan masih banyak lagi sederet daftar panjang luka bangsa ini yang belum bisa terobati.
Untuk mengobati itu tampaknya bangsa ini perlu pemimpin alternatif seperti Basuki. Kepemimpinannya yang berpihak kepada rakyat memberikan setitik harapan. Ia telah membuktikan praktek pembaharuan sosial yang nyata dan menyentuh. []
Langganan:
Postingan (Atom)