Senin, 08 September 2008

Mengurai Budaya Rumah Betang Ensaid Panjang

Oleh Dedy Armayadi

Bentuk pemukiman khas atau suatu kampung dari masyarakat suku Dayak di Pulau Kalimantan umumnya merupakan sebuah bangunan rumah yang bersambung, yang dihuni oleh puluhan kepala keluarga. Rumah ini biasanya disebut rumah panjang atau rumah betang.

Pada zaman perang antarsuku rumah betang menjadi benteng pertahanan warga kampung. Namun sekarang rumah betang lebih berperan sebagai sarana pelestarian kebudayaan masyarakat suku Dayak.

Sejalan perkembangan zaman kini keberadaan rumah betang dirasakan mulai berkurang. Satu yang tersisa diantaranya adalah rumah betang yang terdapat di Dusun Rentap Selatan, Ensaid Panjang, Kelam Permai, Sintang. Rumah betang ini terletak sekitar 50 km dari Ibu Kota Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat

Bangunan yang biasa dikenal dengan sebutan Rumah Betang Ensaid Panjang itu memiliki panjang sekitar 127 meter dan lebar 16 meter. Ia dibangun pertama kali pada tahun 1986. Saat ini rumah Betang Ensaid Panjang dihuni 136 jiwa dari 33 kepala keluarga dengan 29 bilik.

Rumah Betang Ensaid Panjang didirikan di atas tiang penyang-gah dari kayu Belian (Eusideroxylon zwagerii) dan beratapkan sirap. Pada bagian depan rumah terdapat pagar yang menyatu dengan rumah betang. Pagar yang biasa disebut dengan pagar air itu tersusun dari kayu-kayu bulat kecil. Pada bagian tengah ada yang namanya ruai, yakni ruangan yang cukup lebar dan memanjang, tempat warga beraktivitas dan berkumpul mengadakan berbagai pertemuan. Lantai ruai itu berupa kayu bu-lat kecil dari pohon jengger atau papan. Di ruai, ada tempat duduk yang panjangnya sekitar 2 - 4 meter, biasanya menempel di pagar air yang disebut empanggung.

Tempat masing-masing keluarga tinggal di rumah betang dise-but bilik. Masing-masing keluarga memiliki bilik selebar 4-6 meter. Di dalam bilik terdapat ruang tamu, kamar tidur, dan dapur. Dahulu kala dapur rumah betang berada di depan, di dekat pintu bilik. Namun sekarang dapur ditempatkan di belakang rumah. Se-lain papan, dinding di depan bilik masih menggunakan kulit pohon meranti (Shorea sp). Diantara ruai dan bilik terdapat lantai dari papan yang digunakan untuk warga berjalan dan menumbuk padi yang biasanya disebut dengan telok. Posisi telok ini lebih rendah dari ruai dan bilik.

Dahulu rumah betang sengaja dibuat tinggi sekitar 5-7 meter untuk menangkal tombak musuh. Supaya mudah dalam penjagaan, tangga rumah hanya dibikin dua yang letaknya berada di samping kanan dan kiri rumah. Setelah perang antarsuku usai, rumah betang dibangun lebih rendah, sekitar 1,5 meter dari atas tanah. Tangga rumah pun umumnya sudah lebih dari dua. Tidak hanya di samping kiri dan kanan, tapi juga di depan.

Lokasi rumah betang sering berpindah-pindah dari satu tembawang (kebun warga yang biasanya terdapat pohon buah, tengkawang, dan lainnya) ke tembawang lain. Lokasi rumah betang bisa pindah karena ketika rumah yang mereka tempati terjadi kebakaran atau ada tanda-tanda buruk seperti bunyi burung, mimpi buruk, banyak warga yang terserang penyakit, atau meninggal dunia.

Lokasi Rumah Betang Ensaid Panjang berada di tembawang Riring Selinang. Dalam bahasa Suku Dayak Desa riring berarti miring, sedangkan Selinang merupakan nama anak sungai yang berada tepat di depan rumah betang. Sebelum pindah ke Riring Selinang, Rumah Betang Ensaid Panjang dibangun di tembawang langkar (baca. rumah belum jadi) yang dihuni 22 kepala keluarga.

Budaya di Rumah Betang

Warga di rumah betang Ensaid Panjang mayoritas dihuni oleh Masyarakat Suku Dayak Desa. Selain Suku Dayak Desa terdapat pula suku lain seperti Suku Dayak Iban, Kantuk dan bahkan ada yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Perbedaan suku ini tidak menjadi persoalan, akan tetapi adat istiadat yang digunakan tetap mengacu pada adat istiadat Suku Dayak Desa.

Warga rumah betang Ensaid Panjang memiliki beragam tradisi dan budaya di dalam kehidupannya. Riyanto (1992) menyebutkan, kehidupan sehari-hari di rumah betang diwarnai dengan persaudaraan yang sangat kuat. Orang sekampung harus hidup dengan rukun dan bersatu dalam hal kecil maupun dalam hal besar. Jika salah satu orang berburu dan mendapatkan kijang, babi atau binatang lainnya, ia mesti membagikannya ke para tetangga. Saat berladang, dalam setiap rangkaian kegiatannya dilakukan dengan gotong royong atau biasa disebut dengan beduruk. Setiap warga saling membantu apabila ada keluarga yang mengalami musibah atau mengadakan pesta.

Untuk mengawali beberapa aktivitas, warga rumah betang biasanya melakukan ritual atau upacara adat. Mereka juga menga-mati berbagai tanda-tanda dan gejala alam seperti mimpi dan bu-nyi burung.

Dalam pembangunan rumah betang misalnya, masyarakat melakukan ritual, terutama saat penancapan tiang mun (tiang pertama rumah betang yang diikat kain kuning di atasnya dan ditan-capkan bulu landak). Masyarakat juga mengamati tanda-tanda dan gejala alam. Kalau ada yang meninggal atau terdengar bunyi burung yang tidak baik, pembangunan rumah tidak dilanjutkan. Biasanya untuk menghindari suara-suara burung, orang-orang memukul gendang sepanjang hari secara bergantian.

Sebelum rumah betang didirikan, masyarakat terlebih dahulu memilih pon, ngapit dan nekop. Pon adalah sebutan bagi ketua atau juragan rumah, sedang ngapit dan nekop merupakan wakil-wakilnya. Dalam pemilihan itu semua warga rumah betang berkumpul bermusyawarah menentukan calon sebanyak tiga orang. Orang yang dipilih ini adalah orang yang sudah memiliki pengalaman, pengetahuan tentang adat istiadat dan cukup umur.

Keputusan siapa yang menjadi pon, ngapit, dan nekop diten-tukan melalui betenung (baca meminta petunjuk/mengundi) dengan telur. Pada saat proses pemilihan, telur yang telah disedia-kan dibolongkan di atasnya, serta dibeberapa titik ditulis kuning, hitam dan putih. Selanjutnya telur itu dipanaskan dengan api lampu pelita. Jika tetesan jatuh pada warna kuning, dialah yang menjadi pon, kalau warna hitam dan putih dialah yang akan menjadi ngapit dan nekop.

Di rumah betang terdapat pantangan yang hingga kini masih dijalankan warga. Antara lain pantangan itu berupa: sabung api yakni jika rombongan datang ke rumah betang dilarang menaiki tangga rumah dari arah yang berlawanan. Bagi warga betang dilarang membawa pucuk rebung yang belum dibersihkan, bibit pisang dan nenas ke dalam rumah. Saat hujan naik ke rumah pengamben tidak boleh ditutup. Bagi setiap keluarga, bilik yang dimilikinya tidak boleh ditinggalkan lebih dari tiga hari. Kalau ter-jadi pelanggaran-pelanggaran itu, pon yang akan menindaknya.

Kehidupan di rumah betang tidak luput dari perselisihan antar-sesama warga. Kasus yang terjadi biasanya berkaitan dengan permasalahan lahan, pertengkaran anak muda, dan sebagainya Akan tetapi, karena rasa persaudaraan masih kuat dan adat istiadat di rumah betang masih tetap terjaga dengan baik, penyelesaian masalahnya menjadi lebih mudah.

Ketika ada warga yang mencuri atau tidak memberitahukan pemakaian barang kepada orang lain, ia dapat dikenakan sangsi salah basa. Saat warga ada yang berkelahi, atau merusak barang orang lain maka ia bisa dikenakan sangsi neraka basa. Jika berkelahi sampai mengeluarkan darah, ia dikenakan mali, malah bisa tiga sekaligus, salah basa, neraka basa, dan mali. Sangsi yang diberikan biasanya berupa membayar denda. Denda mali lebih besar dari sangsi salah basa dan neraka basa.

Jika terjadi permasalahan atau pertengkaran di kampung, ada beberapa cara yang digunakan warga untuk menyelesaikannya. Cara yang sering dilakukan adalah melalui penyelesaian secara kekeluargaan diantara kedua belah pihak yang berselisih, baik yang hanya dilakukan diantara kedua belah pihak maupun dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat. Cara ini biasanya dikenal dengan nama bejereh-bebantah. Pada saat bejereh-bebantah, kedua belah pihak harus menghadirkan juru bicara yang biasanya diambil dari ketua adat atau tokoh masyarakat yang memahami hukum adat. Juru bicara ini yang saling bantah membela orang-orang yang berselisih dengan argumen masing-masing. Keputusan penyelesaian perkara ditentukan oleh Lit atau hakim ketua setelah menimbang argumen dari kedua belah pihak.

Di rumah betang masih terdapat budaya kana. Pada masyarakat Dayak Desa budaya kana merupakan senandung yang sarat akan kebijaksanaan hidup, sindiran halus, petuah dan nasehat dalam menjalani kehidupan, yang diungkapkan dalam kiasan serta dilantunkan dengan senandung yang khas. Selain budaya kana, ada pula budaya semayan dan kanduk. Budaya semayan merupakan budaya yang bersifat religius, berupa rangkaian kata-kata, diucapkan dengan nada tertentu, yang dilaksanakan dalam upacara penyembuhan orang sakit, yang disebut upacara belian, dan dalam setiap penyelenggaraannya selalu dipimpin oleh semanang (dukun). Sedangkan budaya kanduk merupakan cerita rakyat seperti legenda Sebeji mengangkat Bukit Kelam.

Menurut Riyanto (1992), dalam budaya Kana, Semayan, mau-pun Kanduk tersebut terkandung kepercayaan, sekaligus pandangan hidup masyarakat Suku Dayak Desa yang berkeyakinan bahwa dunia beserta kehidupannya diciptakan dan diatur oleh Segugah.

Selain mengungkapkan penciptaan dunia, dalam ketiga budaya tersebut (Kana, Semayan, Kanduk) juga terungkap keyakinan Suku Dayak Desa mengenai adanya ketiga macam dunia dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Dunia Atas Langit merupakan tempat yang membahagiakan dan penuh kedamaian. Di sinilah tempat tinggal para Dewata (Petara) dan Manusia Buah Kana. Manusia Buah Kana merupakan sosok manusia sempurna, yang asal mulanya satu keturunan dengan manusia. Sedangkan Dunia Mensia adalah bumi ini. Selain ditempati oleh manusia, bumi ini juga diyakini ditempati oleh Manusia Buah Kana serta oleh berbagai kekuatan (baik dan jahat). Kehidupan di dunia mensia penuh dengan pergolakan dan perjuangan.

Sebayan (dunia arwah) merupakan tempat berkumpulnya semua semengat (jiwa) orang yang sudah meninggal. Orang yang selama hidupnya selalu berbuat kebaikkan, semengatnya men-jelma menjadi hantu baik yang selalu berusaha membantu manusia, terutama keluarga yang ditinggalkannya. Tetapi orang yang hidupnya tidak benar, maka semengatnya akan menjelma menjadi hantu jahat, yang gentayangan dan suka mengganggu.

Manusia dipahami sebagai mahkluk yang sangat lemah. Untuk bisa mempertahankan hidupnya, manusia harus selalu berusaha membina relasi dengan semua kekuatan yang mendiami bumi ini. Itulah sebabnya dalam kehidupan masyarakat suku Daya Desa di temukan beragam upacara dan sesajian.

Budaya lisan yang dimiliki warga rumah Betang ternyata kaya akan filosofi kehidupan. Kandungan nilai-nilai budaya di dalamnya menjadi pegangan hidup, tidak hanya dalam berinteraksi dengan sesama manusia, namun juga mengatur hubungan manusia dengan kekuatan lain di bumi. Tidak heran nilai-nilai itu mewarnai kebudayaan rumah betang Ensaid Panjang.

Tulisan ini memang belumlah lengkap. Masih banyak tradisi dan budaya masyarakat rumah betang Ensaid Panjang yang belum diuraikan. Sepertihalnya tenun ikat dayak yang dikerjakan para perempuan, pengetahuan lokal dalam berladang, dan lainnya. Namun dari beberapa tradisi dan budaya yang diuraikan di sini sedikit banyak kita dapat memperoleh gambaran tentang tradisi dan budaya yang dimiliki masyarakat rumah betang Ensaid Panjang yang berguna dalam membina hubungan harmonis antar sesama manusia.[]